"Kami sampaikan bahwa kasus ini (dugaan perkosaan) dinyatakan telah selesai (berakhir damai)," ujar Rektor UGM, Panut Mulyono, dalam konferensi pers di Ruang Sidang Pimpinan UGM (UGM), Senin (4/1).
Turut hadir dalam konferensi pers Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Alumni Paripurna, Wakil Rektor Bidang Pendidikan Pengajaran dan Kemahasiswaan Djagal, Dekan Fakultas Teknik Nizam, dan Dekan Fisipol Erwan Agus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nota kesepakatan damai itu ditandatangani oleh korban, pelaku dan Rektor UGM. "Tanda tangannya bermaterai," jelasnya.
Panut menegaskan, keputusan damai ini diambil tanpa paksaan. Kedua belah pihak dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan membubuhkan tanda tangan di atas nota kesepakatan bermaterai tersebut. Panut mengungkapkan bahwa HS menyatakan penyesalannya, mengaku bersalah dan memohon maaf.
Meski begitu, lanjut Panut, keduanya masih harus mengikuti mandatory konseling dengan psikolog klinis. Psikolog tersebut bisa dari internal UGM maupun psikolog yang ditunjuk sendiri oleh keduanya.
"UGM menfasilitasi dan menanggung sepenuhnya kebutuhan dana konseling," tutupnya.
Sementara itu Dekan Fisipol UGM, Erwan Agus Purwanto, menegaskan proses kesepakatan tersebut antara mahasiswinya sebagai korban dengan pelaku berlangsung tanpa paksaan.
Erwan menerangkan, sebelum penandatanganan kesepakatan ini, pihak kampus sudah berkomunikasi secara intens dengan korban. Begitu juga dengan Pimpinan Fakultas Teknik yang berkomunikasi secara intens dengan mahasiswanya yang merupakan terlapor, HS.
Dalam jumpa pers terpisah, Direktur Rifka Annisa, Suharti yang merupakan pendamping korban mengatakan keberatan dengan diksi 'damai' yang digunakan untuk kesepakatan tersebut.
"Kami sangat keberatan, menolak, dan terganggu dengan penggunaan diksi 'damai'," ujar Suharti di kantornya, Yogyakarta, Rabu (6/2).
Dijelaskannya, penggunaan diksi damai menegasikan proses perjuangan korban dalam memperoleh keadilan. Penggunaan diksi damai juga menjadi pemicu anggapan bahwa korban telah menyerah dalam berjuang.
"Membuat capaian-capaian perubahan yang dibuat oleh (korban) dan gerakannya selama hampir satu setengah tahun (dalam memperjuangkan keadilan) seolah tampak tak membuahkan hasil," lanjut Suharti.
Dalam kesempatan itu, Kuasa Hukum Agni, Suki Ratnasari mengatakan bahwa kliennya juga telah mengetahui hasil kerja Komite Etik UGM pada 21 Januari 2019 lalu.
Hasilnya, empat dari tujuh anggota Komite Etik menyatakan tidak ada pelecehan seksual terhadap Agni.
"Dari tujuh orang anggota Komite Etik, empat orang menyatakan tidak ada pelecehan seksual, yang terjadi adalah perbuatan asusila dan menolak mengkategorikannya sebagai pelanggaran sedang dan berat," jelasnya.
Kiki panggilan akrab Suki Ratnasari menerangkan meskipun empat anggota Komite Etik menyatakan tidak ada pelecehan seksual, namun ada anggota Komite Etik lainnya yang mengeluarkan dissesting opinion.
Dissesting opinion tersebut menyatakan bahwa kasus yang menimpa Agni adalah pelecehan seksual. Tak hanya itu, kasus yang dialami Agni juga dikategorikan sebagai pelanggaran berat.
Kiki menyayangkan pandangan mayoritas anggota Komite Etik yang menyatakan tidak adanya pelecehan seksual terhadap Agni. Padahal Agni sejak awal dijanjikan pihak kampus penyelesaian yang berkeadilan gender.
"Kesimpulan (atas kasus) tindak asusila (dari Komite Etik UGM) sangat melukai rasa keadilan Agni (nama semaran korban)," tegasnya.
Simak Juga 'KKN UGM Diguncang Skandal Dugaan Pelecehan Seksual':
(sip/mbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini