Sejak pagi, mereka rela berdesakan di halaman kantor Forum Pengusaha Rokok Kretek Kudus, di Lingkungan Industri Kecil Industri Hasil Tembakau (LIK-IHT) Desa Megawon, Kecamatan Jati, Kudus, Jumat (28/12/2018).
Para buruh antre dan berdesak-desakan agar bisa masuk aula. Polisi dan petugas turun mengattur antrean agar lebih tertib. Di dalam ruangan aula, mereka membubuhkan tanda tangan sebagai bentuk bukti menerima uang JHT. Kemudian, mereka menerima uang Rp 100 ribu.
pabrik rokok gentong gotri
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Setiap buruh terima uang JHT. Saya juga terima. Uangnya mau saya pakai buat bayar utang," terang warga Desa Singocandi, Kecamatan Kota, Kudus, di lokasi.
Dia mengaku mempunyai utang setelah lama tidak bekerja. Sebab pabrik Gentong Gotri lama tak beroperasi karena kolaps. Anisa telah bekerja di pabrik itu hampir 13 tahun di Gentong Gotri.
"Lumayan lama saya kerja di Gotri (Gentong Gotri). 13 tahun ada," ungkapnya.
Anisa juga mengaku saat menerima uang JHT, juga menandatangani tanda bersedia menerima uang pesangon hanya 25 persen.
"Saya ikut tanda tangan bersedia menerima uang pesangon 25 persen. Kasihan perusahaan lama tidak menggarap," ujar Anisa.
Saat pembagian JHT itu turut didampingi oleh pengacara buruh, Daru Handoyo. Daru terlihat mengawasi jalannya penerimaan uang JHT untuk buruh serta aktivitas penandatanganan bila buruh bersedia menerima pesangon 25 persen.
Daru menjelaskan, pembayaran uang JHT merupakan hak setiap buruh. Menurutnya, uang yang dibagikan itu merupakan uang bagian untuk Gentong Gotri, menyusul bubarnya Pusat Koperasi Karyawan Industri Rokok Kudus (PKKIRK) pada Desember 2017. Sebagai anggota dari koperasi tersebut, Gentong Gotri mendapat jatah sebesar Rp 265 juta untuk dibagikan ke buruh.
"JHT dari PKKIRK kali ini yang dibagikan kepada buruh sebesar Rp 130 juta. Sebelumnya, JHT tahap pertama Rp 135 juta. Ini sisa dari tahap pertama. Karena memang harusnya yang dibagikan kepada buruh sebesar Rp 265 juta," kata Daru.
Dia menjelaskan pula, buruh Gentong Gotri yang jumlahnya 1.151 orang itu masih belum diputus hak kerjanya. Artinya kalau mereka telah resmi diputus hak kerjanya, maka perusahaan wajib memberikan pesangon.
"Ada 1.151 orang terima JHT. Mereka (para buruh) juga masih menunggu pesangon," tuturnya.
Dalam memberikan pesangon, lanjut Daru, perusahaan merasa kesulitan. Maka sejumlah aset milik perusahaan yang ada di Semarang pun akan dilelang demi memenuhi kewajiban. Di sisi lain, perusahaan hanya sanggup memberi pesangon sebesar 25 persen.
"Karenanya hari ini, selain mereka ambil uang JHT, juga mereka tanda tangan. Khusus bagi buruh yang bersedia menerima pesangon 25 persen," tambah Daru.
Dia menargetkan, buruh itu akan menerima uang pesangon sebelum bulan puasa atau setidaknya sebelum Lebaran Idul Fitri tahun 2019. Meski hanya kuat memberi pesangon sebesar 25 persen, namun tidak menutup kemungkinan ada buruh yang menolak. Ia juga berjanji akan ikut mendampingi menuntut hak buruh.
"Nanti yang setuju mendapat pesangon sebesar 25 persen akan didata sampai kemudian diselesaikan pembayarannya oleh perusahaan. Bagi yang tidak setuju dan menuntut lebih, maka akan kami dampingi," katanya.
Jika nanti perusahaan tidak memenuhi hak para buruh, kata dia, Daru akan mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) di Semarang.
"Tapi saya perkirakan lebih banyak yang bersedia terima pesangon 25 persen," imbuhnya.
Seorang koordinator penandatanganan kebersediaan terima pesangon 25 persen, Solikah (35), menuturkan, hampir seluruh buruh bersedia terima uang pesangon 25 persen.
"Hampir semuanya tanda tangan. Bersedia terima pesangon 25 persen," kata Solikah yang ditemui di lokasi tengah mendata buruh yang bersedia tanda tangan.
(bgs/bgs)