Pasar pangan terbesar di Solo ini dipastikan bakal dibangun kembali oleh pemerintah. Bangunan fisik pasar akan kembali bertransformasi sesuai zamannya.
Dinas Kebudayaan Surakarta menyebut Pasar Legi bukan termasuk dalam kategori benda cagar budaya (BCB), meskipun pasar sudah ada sejak tahun 1700-an. Bentuk fisiknya sudah beberapa kali berubah mengikuti kebutuhan masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut sejarawan Surakarta, Heri Priyatmoko, bangunan Pasar Legi mengalami perubahan sedikitnya tiga kali. Sejak periode Mangkunegara I hingga Mangkunegara VII, Pasar Legi masih sangat tradisional. Pedagang hanya berjualan beralaskan karung dan daun.
"Ini memunculkan istilah pedagang oprokan. Ada juga pedagang yang berpayung gubuk, karena belum ada dinding saat itu," kata dosen sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu, saat dihubungi detikcom, Kamis (1/11/2018).
Saat itu sebenarnya Mangkunegara I mengikuti tata ruang kota Jawa lainnya, yakni membangun pasar, masjid dan alun-alun. Namun sesuai Perjanjian Salatiga, Mangkunegara dilarang membuat alun-alun.
Masjid saat itu dibangun di sebelah barat pasar, tepatnya di barat simpang empat Pasar Legi. Masjid itu termasuk bagian dari kampung Kauman Pasar Legi.
"Tapi tahun 1870, Mangkunegara IV memindahkan masjid itu ke Masjid Al Wustho yang ada di barat Mangkunegaran saat ini," ujar Heri.
![]() |
Baru pada 1936, Mangkunegara VII membangun pasar dengan bangunan permanen. Bentuknya lebih mirip dengan benteng berwarna putih. Toko-toko di muka pasar yang semula terbuat dari kayu dibangun menjadi beton.
Mangkunegara VII sebelumnya juga menggabungkan Pasar Totogan yang berada di selatan Kali Pepe ke Pasar Legi yang berada di utara Kali Pepe. Suasana Pasar Legi semakin meriah, baik siang ataupun malam.
"Selokan pembuangan air juga diperbaharui. Semula halaman yang mengelilingi pasar terbuat dari aspal yang panas, lalu diganti lantai beton. Jadi kenyamanan pengunjung benar-benar dijaga," ujar dia.
Para era kemerdekaan, yakni tahun 1992, bangunan kembali dirombak hingga menjadi seperti saat ini. Tahun 2006, pemerintah sempat merenovasi beberapa bagian bangunan.
Meski bentuk bangunan terus mengalami perubahan, kemeriahan Pasar Legi tetap selalu berkumandang dari zaman ke zaman. Pasar di Jalan S Parman ini tetap menjadi induk dari pasar-pasar di Solo.
![]() |
Memang pada awalnya pasar hanya ramai sesuai pasaran Jawa. Pasar legi ramai saat pasaran Legi, Pasar Pon ramai saat Pon, begitu seterusnya.
Namun pada perkembangannya, pasaran tinggallah pasaran. Pasar tradisional setiap hari tetap ramai dikunjungi pembeli.
Kini masyarakat terutama pedagang yang terdampak kebakaran sudah menantikan Pasar Legi dibangun kembali. Tentunya dengan transformasi baru sesuai zaman ini. (bai/sip)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini