Namun sayangnya dia belum tahu kapan akan mulai menanam, sebab kini sama sekali tidak ada air untuk mengairi lahannya. Dia hanya mengandalkan air sungai yang biasanya mengalir ke waduk.
"Di tengah waduk sebenarnya ada air, tapi harus menyedot kalau mau mengalirkan ke sini, tapi tidak punya alat," kata warga Ngaliyan, Lalung itu kepada detikcom, Senin (15/10/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
"Setiap kali kemarau bisa sekali panen, ada yang dua kali, tapi sering juga tidak panen sama sekali. Ya untung-untungan saja," ujar dia.
Warga sekitar memang biasa memanfaatkan waduk menjadi lahan pertanian di kala musim kemarau. Saat kering seperti ini, air hanya terlihat di bagian tengah waduk, sedangkan sekitarnya mendadak menjadi sawah.
Namun nasib para petani ini berbeda-beda. Berbeda dengan Jumiyem, Partono (45) memiliki lahan yang sudah menghijau. Dia mengalirkan air dari tengah waduk ke sawahnya.
"Memang harus dipompa, karena airnya kan lebih rendah. Ini biasanya panen dua kali. Nanti kalau tiba-tiba air sudah naik ya terendam semua, batal panen," ujarnya.
Sementara itu, koordinator petugas pintu air Waduk Lalung, Agus Paryanto, mengatakan saat ini debit air dalam kondisi paling minim. Dari kapasitas 4 jutaan meter kubik, kini air hanya tersisa 800 meter kubik.
"Sejak dua bulan lalu sudah terus berkurang. Sekarang sudah tidak bisa mengalirkan ke mana-mana, pintunya ditutup. Nanti mulai ada air lagi itu biasanya Januari," kata Agus. (bai/bai)