Rumah tersebut merupakan milik Slamet Gandawijaya, sahabat Tan Malaka. Slamet Gandawijaya merupakan tokoh Murba kelahiran Madiun, Jawa Timur, 1901 yang menjadi penyandang dana terbesar. Tan yang saat itu menumpang di rumah Slamet mendapatkan kamar khusus. Bahkan Slamet yang pernah diasingkan ke Digul, Papua karena aktif di gerakan kiri menentang Belanda.
Rumah Slamet tetaknya berada di Jalan Balai Desa Patikraja, Kecamatan Patikraja, Banyumas atau sekitar 30 meter dari jalan utama Patikraja-Purwokerto. Saat detikcom menyambangi rumah tersebut, Senin (13/8/2018) meja makan dan kursi yang digunakan Tan untuk berdiskusi dengan Soedirman hingga saat ini masih terawat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"(Tan Malaka) Tinggal dan makan di sini, mejanya (yang biasa digunakan untuk berdiskusi) masih ada, di sini buat tempat bertemu Jenderal Soedirman dan Tan Malaka, sudah seperti saudara sendiri," kata Tuti dengan terbata-bata menceritakan sedikit cerita yang dia ingat sembari dibantu meminum sejumlah obat oleh pembantunya.
![]() |
Saat itu Tan Malaka dan Jenderal Soedirman berdiskusi untuk mempersiapkan Kongres di Purwokerto pada awal 1946. Dalam buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, yang ditulis Harry A. Poeze, menyebutkan rapat politik tersebut dihadiri tiga ratusan orang mewakili 40 organisasi politik, organisasi kemasyaratakan dan laskar.
Di antara yang hadir adalah pimpinan pusat Partai Sosialis, Partai Kominis Indonesia, Serindo, Masjoemi, Partai Boeroeh Indonesia, Partai Revolosioner Indonesia (Parindo), Organisasi-organisasi pemuda dan pejuanh Pasindo, Barisan Pemberontakan Rakjat Indonesia, Badan Kongres Pemoeda Repoeblik Indonesia, Hizbullah, Gerakan Pemoeda Islam Indonesia (GPII).
Hadir pula perwakilan Angkatan Moeda Repoeblik Indonesia, Kebaktian Rakjat Indonesia Soelawesi (KRIS), Pemuda Republik Indonesia Soematra, Federasi Perempuan Persatoean Wanita Indonesia (Perwari), tentara dan orang-orang dari semua lapisan rakyat, termasuk Panglima Besar Soedirman.
Murba saat itu masih merupakan gerakan rakyat dan belum menjadi partai. Tan Malaka menggagasnya untuk melawan kapitalisme dan penjajahan serta untuk menggapai kesejahteraan. Purwokerto dianggap merupakan basis kuat, maka dari itu Tan Malaka memilihnya untuk tempat kongres para pemimpin berbagai organisasi.
Gedung pertemuan yang pada tahun 1964 sempat digunakan sebagai tempat Kongres Persatuan Perjuangan di Purwokerto itu kini sudah digunakan menjadi gedung Radio Republik Indonesia (RRI) Purwokerto di Jalan Jenderal Soedirman.
![]() |
Dalam koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta terbitan 6 Januari 1946, Harry A. Poeze menggambarkan suasana peserta rapat yang terdiam menahan napas menyambut Tan naik podium. Tan masih terlihat lebih muda, meskipun umurnya saat itu lebih dari 50 tahun. Badan Tan Malaka tegap, sehat, kuat, muka tampak segar. Matanya agak kecil tapi tajam. Melihat kerut-kerut wajah Tan Malaka, maka terlihatlah karakternya yang kukuh, kuat, dan disiplin.
Saat kongres digelar, suasana ketidakpuasan menyelimuti para peserta yang tak sepakat dengan langkah diplomasi Soekarno-Hatta dan Perdana Menteri Sjahrir. Tan geram dengan para pemimpin yang tidak bereaksi dengan masuknya Sekutu ke Indonesia.
Tan mengajukan tujuh pasal program minimum yakni berunding untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan 100 persen, membentuk pemerintah rakyat, membentuk tentara rakyat, melucuti tentara Jepang, mengurus tawanan bangsa Eropa, menyita perkebunan musuh, dan menyita pabrik musuh untuk dikelola sendiri.
Menurut Tan, kemerdekaan 100 persen merupakan tuntutan mutlak. Menurutnya, sesudah musuh meninggalkan Indonesia, barulah diplomasi dimungkinkan. Tan beranalogi: orang tak akan berunding dengan maling di rumahnya. "Selama asih ada satu orang musuh di Tanah Air, satu kapal musuh di pantai, kita harus tetap lawan," katanya.
Jenderal Soedirman juga tidak kalah garang. Dia berpidato di kongres: "Lebih baik diatom (dibom atom) daripada merdeka kurang dari 100 persen." Para peserta kongres akhirnya sepakat membentuk Persatuan Perjuangan.
Kongres di Purwokerto dikatakan memberikan sumbangan besar untuk meyuburkan ide perang rakyat. Padahal konferensi itu awalnya direncanakan akan berlangsung di Malang, Jawa Timur, Desember 1945.
Setelah pertemuan pertama di Purwokerto tersebut, Persatuan kemudian dideklarasikan di Balai Agung, Solo, pada 15 Januari 1946. Kongres Solo disebut Kongres I Persatuan Perjuangan. Kongres ini dihadiri 141 organisasi, termasuk mengundang Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan anggota kabinet.
Namun, yang datang saat itu hanya Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, Jaksa Agung Gatot Taroenamihardjo, dan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Sedangkan Sultan Yogya dan Susuhunan Solo hanya mengirimkan wakil mereka. Peserta menginap di Hotel Merdeka, Solo.
Setelah bendera oposisi dikibarkan di Purwokerto, Tan ditangkap. Dia kemudian dipenjarakan di sejumlah tempat di Wirogunan Yogyakarta, Madiun, Ponorogo, Tawangmangu, dan Magelang.
Kembali ke cerita di rumah Slamet, lokasi Tan Malaka dan Soedirman berdiskusi selama kongres, memiliki halaman luas dan sudah beberapa kali mengalami renovasi. Saat ini rumah lawas itu tampak sepi. Jika siang hari, hanya Tuti dan pembantunya yang menemaninya di rumah. Sebelah kanan dan kiri rumah Slamet padat berdiri rumah-rumah lainnya. Saat memasuki halaman rumah, terdapat beberapa pepohonan, salah satunya pohon rambutan menambah suasana rindang di sekitar rumah.
Tuti mengaku tidak mendapatkan cerita detail suasana saat itu dari mertuanya. Tapi salah satu cerita yang diingatnya adalah tentang Martini yang selalu menyembunyikan Tan Malaka di dalam kamar dan merahasiakannya setiap ada Belanda datang.
"Tan Malaka dimasukkan kamar dan kuncinya ditaruh di benting (selendang pengikat kain di perut) sama ibu. Kalau Belanda tanya, ibu bilang tidak ada apa-apa di sini, ini gudang," ceritanya.
![]() |
Saat itu, dibandingkan tetangga-tetangganya, rumah Slamet bisa terbilang lengkap karena sudah dilengkapi dengan telepon dan garasi mobil. Bahkan penduduk setempat menganggap keluarga tersebut sebagai keluarga ningrat dan sering memanggil Slamet dan tiga anaknya dengan panggilan 'Den'.
Selama Slamet menjalani pengasingan di Digul, Tuti menceritakan jika kondisi Martini dan ketiga anaknya Nuning Gandarsih, Natal Gudardo dan Printis Gunawan sangat memprihatikan. Apalagi saat Belanda sering mendatangi rumahnya.
Martini, yang lahir di Purwokerto, 5 Oktober 1920, meninggal pada November 2007. Sedangkan Slamet meninggal 4 September 1966, dan jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tanjung Nirwana, Purwokerto, sebagai perintis kemerdekaan. (sip/sip)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini