Setelah bisa mengikuti kursus dan pelatihan, kehidupan Titik Isnani mulai berubah. Semangatnya untuk memperoleh pendidikan dan berkarya agar bisa mandiri terus menggelora dalam hidupnya.
Dari proses kehidupan yang terus berjalan, penyandang disabilitas yang menderita lumpuh sejak kecil itu pun akhirnya membentuk kelompok yang menampung para difabel maupun orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK). Sejak tahun 2014, akhirnya terbentuk kelompok sanggar Tunas Harapan dengan Titik Isnani sebagai ketuanya hingga sekarang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya tidak pernah sekolah, dikucilkan, mendapat perlakukan diskriminatif dari keluarga dan masyarakat. Saya menginginkan anak-anak ini tidak merasakan apa yang saya rasakan," kata Titik Isnani, Kepala PAUD Inklusi 'Tersenyum' kepada detikcom Jumat (20/4/2018).
Pendirian PAUD Inklusi ini juga dilatarbelakangi anak-anak difabel yang sering ditolak di sekolah umum dengan berbagai alasan. Dari pengalaman yang dialami ibu-ibu yang memiliki ABK tersebut, akhirnya disepakati mendirikan PAUD sendiri.
"Dari pengalaman yang dialami ibu-ibu yang memiliki ABK, mereka banyak yang ditolak di sekolah (umum). Kami berusaha bagaimana agar ABK dan non ABK bisa setara. Yo wis yen bocah-bocah ABK ditolak, ayo bikin sekolah sendiri saja. Akhirnya salah satu permasalahan di kelompok kita selesaikan satu dengan mendirikan PAUD Inklusi 'Tersenyum' ini," ujar Isnani.
Menurut dia, anak berkebutuhan khusus yang ditolak di sekolah umum ada sejumlah alasan. Antara lain karena usianya sudah diatas rata-rata anak sekolah, karena awalnya kesulitan akses pendidikan.
"Usia 13 tahun kok masuk kelas 1 kan tidak mungkin. Ya sudah kita kembalikan ke PAUD. Terus ditolak karena tidak ada gurunya juga ada," imbuhnya.
Meskipun ditujukan kepada anak-anak berkebutuhan khusus, namun PAUD ini juga menerima dari anak non ABK. Pelajarannya pun dibedakan. Untuk anak non ABK, sesuai dengan standarnya. Sedangkan anak ABK diberikan sesuai dengan minat dan bakatnya.
Selain untuk memberikan pendidikan kepada anak difabel, tujuannya dari PAUD ini juga untuk mensosialisasikan inklusi kepada masyarakat. Sehingga harapannya, anak difabel mendapat hak dan yang sama dan tidak ada diskriminasi.
"Harapannya anak-anak ABK dan non ABK bisa tersenyum bareng. Bisa bersosialisasi bareng. Fokusnya untuk mensosialisasikan inklusi. Pinginnya menyebarkan, menginklusikan masyarakat dan memasyarakatkan inklusi," kata dia.
Tak hanya mengajari anak-anak yang sekolah, di PAUD ini ibu-ibunya juga diajari ketrampilan sesuai dengan keinginannya. Sehingga sembari menunggu anaknya sekolah di PAUD, para ibu-ibunya membuat ketrampilan, seperti membuat rajutan, kain perca dan menjahit.
"Harapannya, ketika mereka menunggu anak-anaknya sekolah, pulang membawa ketrampilan. Terus ini ibu-ibunya sudah dapat pesanan. Jadi ibu-ibu sudah punya rajutan sendiri dan pesanan sendiri-sendiri," ujar Isnani.
PAUD dan Sanggar Tunas Harapan yang didirikannya pun kini terus eksis. Keberadaannya di keluarga dan masyarakat pun tidak dipandang sebelah mata lagi.
"Alhamdulillah, sudah terbuka. Dulu sempat putus asa juga," pungkasnya. (bgs/bgs)