Ia lahir 10 April 1877 di Pelemkerep, Mayong, Jepara. Ia juga kenal menguasai banyak bahasa. Namun hingga akhir hayatnya tidak banyak orang yang mengenal karya-karya yang pernah dituliskannya. Ia meninggal tanggal 8 Februari 1952, di Bandung.
Ratusan mahasiswa dan kalangan umum memanfaatkan hari lahir Sosrokartono yang jatuh pada 10 April itu dengan menggelar Seminar Filologi Meneladani Islam Jawa Sosrokartono. Acara itu digelar Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Ushuluddin STAIN Kudus di STAIN Kudus, Selasa (10/4/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Namun tetap ada. Di beberapa sumber, saya menemukan dan mencoba mempelajarinya," ungkap Yudi.
Menurutnya, ada beberapa kumpulan surat yang ditulis Sosrokartono kepada orang dekatnya. Seperti saat mantan wartawan perang dunia ini pergi ke Medan. Sosrokartono menulis surat kepada rekannya di Bandung.
"Isinya wejangan atau nasihat. Sulit dicerna. Sosrokartono memang demikian. Adalah laku, yang dilakukannya itu untuk mencernanya," beber Yudi.
Sosrokartono dalami hidupnya amat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan atau lebih tepatnya menyadari sifat harkat kemanusiaannya. Misal seperti ungkapan kalimat 'Sugih tanpa bandha, Digdaya tanpa aji, Nglurug tanpa bala, Menang tanpa ngasorake'. Menurut Yudi, itu adalah sosok Sosrokartono dalam berperilaku.
Dari beberapa sumber yang dibacanya, lanjut Yudi, rasa kemanusiaan Sosrokartono tampak sejak berada di luar negeri. Diketahui, usai Sosrokartono lulus dari Eropesche Lagere School di Jepara, dan H.B.S. di Semarang, ia meneruskan sekolahnya ke negeri Belanda.
Selama di luar negeri, rasa menghargai sesama sudah kerap dilakoni Sosrokartono. Yudi pernah mendapat cerita, jika Sosrokartoni pernah menolong pangeran Hongaria. Sebagai ungkapan terima kasihnya, si pangeran mewariskan semua hartanya kepada Sosrokartono. namun ia menolak.
Pernah juga, di kereta api dalam satu perjalanan liputan perang, Sosrokartono melihat ada gadis bawa harta banyak. Sosrokartono yang telah membaca situasi perang dunia mengingatkan gadis itu agar tidak ketahuan pihak Jerman. Karena Jerman akan merampas harta.
Akhirnya, harta gadis itu pun selamat. Balasannya, si gadis bersedia jika dipinang Sosrokartono. Meski hal itu ditolaknya secara halus. Ada juga, cerita yakni teman Sosrokartono di Prancis, anak yang sakit panas. Saat kepala anak dipegang lama oleh Sosrokartono, penyakit si anak itu perlahan- lahan hilang dan sembuh.
"Itu semua (hidup di Eropa) ditinggalkan pada 1925. Sosrokartono memutuskan kembali ke Indonesia. Dia pulang dengan kondisi Indonesia masih belum merdeka," ujarnya.
Ada dua hal yang membuat Sosrokartono ingin kembali ke tanah air. Yaitu dia rindu ibunya yang saat itu tinggal di Salatiga bareng adiknya. Serta kedua, dia ingin mengunjungi kiai atau ahli kebatinan di satu tempat di Jombang atau Mojokerto Jawa Timur.
"Dia itu menekuni ilmu kebatinan," terangnya.
Adapun soal Islamnya Sosrokartono, dari beberapa sumber, lanjut Yudi, Sosrokartono menerapkan Islam yang Kejawaan. Yaitu disinkronkan dengan ajaran Jawa.
"Yang jelas, itu tidak akan menyimpang. Kenapa? Karena supaya bangsa ini tetap punya identitas. Bangsa ini sudah punya identitas yang tetap harus dipegang," tambahnya.
Dosen STAIN Kudus Nur Said menambahkan, sosok Sosrokartono amat layak ditiru. Sebab Islam yang dianut Sosrokartono adalah Islam dengan balutan budaya Jawa.
"Islam itu seperti air. Jadi perlu diwadahi. Budaya sebagai wadahnya. Jika tidak diwadahi, ya akan bahaya. Seperti adanya terorisme," papar Nur Said.
Menurutnya, Sosrokartono tetap jadi orang Jawa. Identitasnya Jawa.
"Pentingnya identitas sebagai wujud eksistensi. Dia sosok Jawanisasi Islam," ungkapnya. (bgs/bgs)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini