Menurut salah satu takmir Masjid Kiai Sholeh Darat, Homsin, pesantren tersebut awalnya didirikan mertua KH Sholeh Darat yaitu Kiai Murtadho tahun 1700-an berupa langgar. Kemudian setelah KH Sholeh Darat datang ke Semarang dari menimba ilmu dan menjadi guru di Makkah, ia membesarkan langgar mertuanya pada tahun 1870.
Pesantren Darat, lanjut Homsin, merupakan pesantren tertua kedua di Semarang setelah Pondok Pesantren Dondong, Mangkang Wetan, Semarang. KH Sholeh Darat semasa mengasuh pondok pesantren tidak memperhatikan kelembagaan pondok karena diyakini sikap tawadhu kepada Pesantren Dondong yang sederhana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meskipun demikian di Pesantren yang beradda di Kampung Darat itu, tercatat pernah mondok dua orang santri yang bersahabat. Keduanya adalah Hasyim Asy'ari yang di kemudian hari mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammad Darwis atau kemudian terkenal bernama Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah.
"Mbah Sholeh Darat dulu mengajar tidak hanya fokus di pesantren tapi juga mengajar ke luar," kata dia, Minggu (22/10/2017).
![]() |
Salah satu muridnya di luar pesantren yaitu RA Kartini. Pertemuannya dengan RA Kartini diawali ketika KH Sholeh Darat mengisi pengajian bulanan di rumah Bupati Demak yang merupakan paman RA Kartini. Dari balik tabir, Kartini terkesima dengan tafsir Al-Fatihah dengan menggunakan bahasa Jawa sehingga Kartini mengerti.
RA Kartini mendesak pamannya untuk mempertemukan dengan KH Sholeh Darat. Setelah bertemu, kepada sang kiai, Kartini meminta agar Al Quran diterjemahkan. Atas panggilan dakwah dan permintaan Kartini tersebut, maka KH Sholeh Darat menerjemahkannya menggunakan Arab Pegon (huruf Arab berbahasa Jawa).
Kitab itu tercatat sebagai kitab terjemahan Quran pertama dalam bahasa Jawa. Kitab tafsir pertama dalam Arab Pegon tersebut diberi nama Faidhur Rohman. Pihak Belanda yang kala itu melarang orang menterjemahkan Quran, tidak melarang karena tidak paham isinya.
"Kitab itu diberikan kepada Kartini sebagai kado pernikahan dengan Bupati Rembang (RM Joyodiningrat)," terang Homsin.
Sepeninggala Kiai Sholeh Darat tahun 1903, pesantren tersebut tidak ada yang meneruskan dan pamornya meredup. Salah seorang menantu, Kiai Amir memindahkannya ke Kedungwuni Pekalongan. Sedangkan santri senior di sana yaitu Kiai Idris membawa sejumlah santri ke Solo untuk menghidupkan lagi Pondok Pesantren Jamsaren yang pernah didirikan Kiai Jamsari atau Zam Ashari.
"Sekarang bekasnya sudah tidak ada sama sekali di sini," pungkas Homsin. (alg/mbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini