"Kami menilai penggusuran ini cacat hukum," tegas Kepala Departemen Advokasi LBH Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli di kantor Jl Ngeksigondo, Yogyakarta, Rabu (5/7/2017).
Dia mempertanyakan dasar hukum yang dipakai PT KAI Daop 6 Yogyakarta untuk melakukan penggusuran kios pedagang yang sudah puluhan tahun berdiri ini. Pedagang yang tergabung dalam Paguyuban Manunggal Karso itu sudah berdagang di Jalan Pasar Kembang sejak tahun 1970-an.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya tanah yang ditempati para pedagang adalah Sultan Ground (SG). Para pedagang juga rutin membayar retribusi ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Yogyakarta.
"Kami menilai tak etis dan mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan. Sementara mereka (PT KAI) tidak mau bernegosiasi," ungkapnya.
Yogi menambahkan adanya ratusan personel gabungan dari PT KAI Daop 6 Yogyakarta, kepolisian dan TNI yang turut dalam penggusuran itu dinilai tidak tepat karena akan berbenturan dengan pedagang. Menurutnya proses penggusuran seharusnya tidak dilakukan sepihak. "Barang-barang milik pedagang juga dikeluarkan secara paksa," kritiknya.
Staf Divisi Ekosob LBH Yogyakarta Lutfy Mubarok menambahkan, selama ini dasar hukum yang dijadikan acuan PT KAI adalah kekancingan tanah SG, yang diberikan ke PT KAI Desember 2015. Namun bukan berarti para pedagang tidak harus diajak bernegosiasi.
Lutfy menilai telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam penggusuran ini, sebab tanpa proses negosiasi. "Jelas terjadi pelanggaran HAM dalam penggusuran ini. Yakni pelanggaran hak atas ekonomi, hak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Sementara ada ratusan jiwa korban terdampak," pungkasnya. (sip/sip)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini