Sebuah kapal nelayan sepanjang 25,5 meter terdampar di atas rumah warga di Desa Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Aceh. Kapal yang terbuat dari kayu bungur itu menjadi saksi bisu betapa hebatnya tsunami menerjang kawasan tersebut 17 tahun yang lalu.
Memori detik-detik terjadinya tsunami masih terekam jelas dalam benak Bundiyah binti Sahan (72). Ia yang sehari-hari berjualan nasi lemak dan kolak di dekat Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Lampulo merasakan guncangan kuat yang membuat kepalanya menjadi pening.
Seperti diketahui, tsunami terjadi setelah rentetan gempa berkekuatan 9,1 - 9,3 skala Richter terjadi di Samudera Hindia pada 26 Desember 2004, sekitar pukul 8 pagi. Usai gempa pertama terjadi, Wak Kolak -panggilan Bundiyah- segera berlari ke rumahnya untuk memastikan kondisi keluarga dan rumahnya.
Dilihatnya tiang-tiang listrik berjatuhan dengan kabelnya yang terserabut. Banyak orang yang jatuh, lantunan kumandang azan dan lapalan doa-doa terdengar dari warga yang juga berhamburan ke luar rumah. Bundiyah pun sempat tersungkur, yang membuat dagangannya berjatuhan ke tanah.
Masih berpacu debar jantung Bundiyah, ia dikagetkan kembali dengan suara seperti ledakan bom sebanyak dua kali dari arah laut. "Ya Allah kenapa dalam kondisi begini masih ada perang, karena saat itu memang ada konflik politik di Aceh," ujar Bundiyah saat berbincang dengan detikcom di Lampulo, 24 Desember 2021.
Setelah memastikan keluarganya selamat, Bundiyah kembali ke lapak jualannya yang telah tumpah. Ia berniat untuk mengumpulkan kolak yang telah dibungkus plastik itu kepada tetangga-tetangganya.
Dari tempatnya berjualan tidak begitu terlihat air surut yang kerap menjadi penanda datangnya tsunami. Sebab, ketika itu ia masih melihat ada kapal yang berlayar dan kapal-kapal pun masih berlabuh di dermaga.
Namun, saat itu terjadi dilihatnya nelayan yang baru kembali melaut memperingatkan ada gelombang setinggi pohon kelapa datang. Gelombang itu, kata Bundiyah, diikuti suara gemuruh macam kapal terbang, airnya hitam dan nampak berasap.
"Gempa dulu baru beberapa menit ada jeda. Kalau tahu bakal ada tsunami kita bisa lari, tetapi waktu itu tidak ada yang tahu. Kita kasih tahu juga orang banyak yang tak percaya dan menyebut saya gila. Saat itu umur saya masih 55 tahun," kata Bundiyah.
"Saya berenang tidak bisa, saya berpikir itu saat terakhir hidup saya. Orang-orang berlarian tak jelas arah, saya kemudian berzikir. Allah kemudian membisiki saya untuk lari ke rumah ibu Abasiyah, untuk naik ke atas rumah lantai dua. Nenek kemudian dipanggil, masuklah kami ke rumah dia," ujar Bundiyah.
Air dengan cepat mengepung rumah Abasiyah, tinggi air sudah mencapai leher. Bundiyah dan warga lainnya yang menyelamatkan diri di tempat yang sama, sudah saling bermaaf-maafan. Saat momen-momen kritis itu terjadi, tiba-tiba terdengar suara benturan keras, rupanya ada perahu nelayan yang datang!
"Awalnya kami mengira itu kapal itu datang dari kru penyelamat, tetapi ketika dilihat rupanya kapal itu kosong, namun saya tetap percaya bahwa kapal itu bentuk bantuan dari Allah," ucap Bundiyah.
Dari atas atap rumah, seorang pemuda bernamaJol kemudian memanggil warga yang bertahan di lantai dua untuk segera naik ke atas kapal. Warga yang saat itu berjumlah 30 orang, termasuk keluarga Bundiyah, segera naik ke atas kapal nelayan yang kemudian diketahui milik Teungku Zulfikar.
Lihat video 'Wisata Sejarah Museum Tsunami, Aceh':
(yum/mud)