Sudah dua bulan Yadiono (82) hanya bisa berbaring di atas kasus di kamar dengan kelambu di bagian belakang rumahnya di Savana Jaya, Pulau Buru. Meski semakin lemah, penyintas peristiwa 65 ini masih punya harap di sisa-sisa hidupnya.
Sebelum Peristiwa 65, Yadiono muda adalah pemimpin di serikat buruh Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) di Blitar, Jawa Timur. Pangkatnya waktu itu adalah pemimpin perjalanan kereta api. Ia dipecat dari jabatan pada 1966, ditahan lalu dibawa ke Pulau Buru pada 1969 menggunakan Kapal ADRI XV karena tuduhan terlibat Partai Komunis Indonesia.
"Dikiranya ini mau dibuang di laut, nggak dikasih tahu kok. Nah setelah di Namlea di kasih tahu, dibawa ke Wiku Kecil semua 2.500 (orang), landing di Waeapo, terus dijemput dibawa ke Unit III Wanayasa. Pertama ada 3 unit, kenal Pak Pram, dia barak 1, saya barak 3," kata Yadiono pada pekan lalu saat detikcom berkunjung ke rumahnya di Kabupaten Buru.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Semenjak di Buru, Yadiono sudah tidak pulang ke Blitar. Ia hanya tiga kali ke Jawa untuk mencari anaknya di tahun 1994 dan 2000. Ia memilih mengabdikan diri di Buru dan mengajar seni musik hingga tahun 2017 sebagai honorer di SMA Negeri 3 Waeapo. Saat ini, karena sudah uzur, Yadiono hanya bisa berbaring dan diurus oleh anak cucunya di rumah.
Di masa tua inilah Yadiono masih punya harap bagi dunia pendidikana, khususnya soal bagaimana mengajar seni musik bagi anak-anak di Pulau Buru.
Katanya, waktu itu di tahun 2007 ia memilih jadi guru seni musik karena terkejut dengan cara bernyanyi Indonesia Raya anak-anak sekolah. Ia pun memberanikan diri bicara ke kepala sekolah agar bisa mengajar dan malah disambut baik pihak sekolah.
Pengabdian di pendidikan itu menurut Yadiono selalu berbekas di hatinya. Bila perlu saat sudah sehat nanti, ia tidak keberatan mengajari guru soal seni music untuk ditularkan kepada siswanya.
"Sebetulnya pikiran saya ingin mengajar ke pendidikan, tapi karena usia, karena keadaan begini. Sampai sekarang yang ganti saya nggak ada. Saya bilang kalau sudah nggak ngajar, kumpulkan guru-guru semua setiap bulan berapa kali," ujarnya.
Yadiono pun saat ini sudah tidak banyak menuntut imbas dilabeli mantan tahanan. Meski menurutnya ia masih jengkel karena berhenti dari pekerjaan dan distigma sedemikian rupa. Soal status bebas pun menurutnya ia anggap lucu. Karena, sampai saat ini ia tidak pernah menjalani proses hukum di pengadilan.
"Setelah tahun 79, bebas. Kalau dikatakan bebas itu lucu. Ini diadili nggak, bebas begitu saja. Saya kadang-kadang jengkel," paparnya.
Penyintas lain, Diro Sutopo (85) juga tidak terlalu banyak berharap pada pemerintah di masa tuanya. Kabupaten Buru sekarang menurutnya sudah maju dibanding saat para tahanan memasuki pulau ini. Perlu ada perhatian dari daerah khususnya bagi para penyintas karena berjasa membangun daerah ini.
"Kita waktu ditahan di sini sengsara. Sekarang sudah jadi areal pertanian, dulu pohon besar-besar kita tebang, belum ada senso waktu itu, pakai kampak. Sekarang kayaknya mereka ini karena datang sudah tinggal enaknya, dengan kita ini kayaknya nggak peduli," ujarnya.
Bari Diro maupun Yadiono kondisi sehat dan tentram di masa tua adalah harapan meskipun masa sulit dan stigma masa lalu masih membekas di benaknya. Tapi, mereka juga berharap tidak ada lagi kejadian serupa terulang ke depan yang merugikan semua orang.
"Banyak yang menyakitkan itu sulit dilupakan. Yang penting itu sudah punya sejarah untuk pembelajaran bagi kita. Hidup ini kalau tentram damai aman. Padahal kita ini sudah punya jimat paling hebat, bangsa Indonesia, Pancasila itu kalau individu menghayati itu aman. Tapi kenapa kok tidak dilakukan," kata Diro.
(bri/mso)