Sebuah papan seng bertuliskan 'TANDJOENGSARI 885' tampak samar di sisi tembok sebuah bangunan tua di Jalan Staat Spoors, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang. Bangunan tersebut kini difungsikan sebagai Gedung Juang 45 Tanjungsari.
Informasi dihimpun detikcom, gedung itu dulunya merupakan bekas stasiun kereta api pada masa pendudukan Belanda di akhir abad 19. Bangunan itu terletak tidak jauh dari Alun-alun Tanjungsari di ketinggian +855 meter.
Stasiun Tanjungsari dulunya bagian dari proyek jalur perlintasan kereta api Belanda yang menghubungkan wilayah Rancaekek, Jatinangor, Tanjungsari, Citali hingga ke Sumedang. "Iya kalau kata orang tua sih, Gedung Juang 45, katanya bekas stasiun kereta api," ucap Doni, warga setempat kepada detikcom, Minggu (19/12/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Kata orang tuanya, lanjut Doni, kereta yang melintas ke Tanjungsari diperuntukkan untuk membawa hasil bumi. "Konon kereta itu buat mengangkut hasil perkebunan mulai dari Rancaekek, Jatinangor sampai Tanjungsari," ujarnya.
Dalam buku Indische Spoorweg Politiek atau Politik Perkeretaapian Hindia (S.A Reitsma,1925), disebutkan jalur Rancaekek, Jatinangor, Tanjungsari, Citali hingga ke Sumedang merupakan jalur yang dibangun untuk memperkuat pertahanan Belanda di Pulau Jawa.
Pada tahun 1917/1918, Jalur Rancaekek hingga Jatinangor sudah dioperasikan. Sementara untuk jalur Jatinangor hingga Citali hampir selesai pengerjaannya.
Jalur kereta api yang direncanakan sampai hingga Sumedang nyata mengalami kendala. Pasalnya, jalur dari Citali ke Sumedang memiliki medan yang cukup menantang lantaran banyaknya jurang dan pegunungan. Pemerintah Hindia Belanda pun kala itu mengalami krisis keuangan.
Menurut buku itu, dalam membangun jalur Citali-Sumedang, diperlukan anggaran sebesar 4,5 juta gulden. Anggaran itu belum termasuk anggaran persiapannya sebesar 500 ribu gulden.
Padahal, jika jalur Sumedang selesai dibangun, akan dilanjutkan untuk pembukaan jalur Sumedang - Kadipaten, Majalengka. Lalu, jalur penghubung antara Bandung dan Cirebon.
Berdasarkan sumber lain, jalur Citali hingga Sumedang batal dibangun, selain lantaran faktor keuangan, juga akibat keburu masuknya era penjajahan Jepang di Indonesia.
Pegiat literasi perkeretaapian, Atep Kurnia, mengatakan sejarah Jembatan Cincin di kawasan Jatinangor merupakan bagian dari rencana pembangunan jalur kereta api dari Rancaekek hingga ke Sumedang. Namum, lanjut Atep, rencana jalur kereta api hingga sampai ke Sumedang itu batal dibangun akibat adanya krisis keuangan di Pemerintahan Hindia-Belanda.
"Pembangunan jalur simpangan ke Tanjungsari, sebenarnya diniatkan hingga Sumedang tetapi karena terkendala keuangan jadinya berhenti di Tanjungsari," ujar Atep.
![]() |
Menurut Atep, jalur kereta api Rancaekek-Sumedang dan jalur kereta api Bandung-Ciwidey merupakan jalur kereta api yang sudah direncanakan sejak lama pada masa itu.
"Sejak akhir abad ke-19 sudah banyak pihak swasta yang mengajukan konsesinya tetapi selalu ditolak pemerintah (Hindia-Belanda)," tutur Atep sambil menambahkan jalur kereta api Rancaekek-Sumedang dibangun dengan tujuan untuk kepentingan ekonomi dan militer Pemerintah Hindia-Belanda.