Masih Percaya Mitos Gadis Sunda Dilarang Menikahi Lelaki Jawa?

Masih Percaya Mitos Gadis Sunda Dilarang Menikahi Lelaki Jawa?

Faizal Amiruddin - detikNews
Senin, 13 Des 2021 13:16 WIB
Pengunjung melintas di depan deretan wayang Purwo yang dipajang di Museum Panji di Tumpang, Malang, Jawa Timur, Sabtu (22/8/2020). Museum tersebut didirikan untuk memberikan pengetahuan sejarah tentang budaya Panji yang lahir pada abad ke-14. ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/wsj.
Begini Gambaran Perang Bubat di Era Kerajaan Majapahit di Museum Panji di Tumpang, Malang, Jawa Timur/Foto: ANTARA FOTO/ARI BOWO SUCIPTO
Pangandaran -

Kisah sejarah Perang Bubat antara Kerajaan Padjadjaran dan kerajaan Majapahit diungkit Gubernur Jabar Ridwan Kamil dalam postingan di instagramnya. Unggahan soal Perang Bubat itu bersamaan dengan kunjungan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X ke Bandung. Gadis Sunda dilarang menikahi lelaki Jawa?

Demikian judul unggahan Ridwan Kamil. Dr Erik Krisnayuda budayawan asal Kabupaten Pangandaran, menjelaskan hal itu adalah mitos yang muncul akibat dari pertempuran Bubat, yaitu larangan atau istilah pamali bagi pasangan yang berasal dari kedua suku ini untuk melangsungkan pernikahan. Namun saat ini mitos itu sudah usang.

"Dalam kehidupan saat ini mitos tersebut sudah usang, sudah tidak berlaku lagi," udar Erik saat berbincang beberapa waktu lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

[Gambas:Instagram]

ADVERTISEMENT



Dia mengatakan seseorang dilahirkan sebagai suku Sunda atau suku Jawa bukan keinginan kita. Sejatinya kita hidup, kata Erik sudah diatur Allah, termasuk identitas suku, jodoh, kematian dan lainnya.

"Kan kita tidak bisa request, terlahir sebagai suku apa. Intinya buntut dari pertempuran perang Bubat itu sudah tidak relevan, untuk diperdebatkan. Ayolah sekarang ini sudah tahun 2021," tandas Erik.

Dia mencontohkan wilayah Kabupaten Pangandaran yang secara geografis merupakan wilayah perbatasan wilayah Jawa Barat (suku Sunda) dan Jawa Tengah (suku Jawa), akulturasi budaya, sosial dan adat istiadat berlangsung dengan rukun.

"Kan di wilayah perbatasan ada istilah masyarakat Jasun. Pasangan campuran Jawa dan Sunda memiliki keturunan, disebut Jasun. Pangandaran ini menjadi bukti, bahwa buntut perang Bubat itu sudah tidak berlaku lagi. Antara suku Sunda dan Jawa hidup rukun berdampingan, dalam bingkai NKRI," kata Erik.

Namun ia tak masalah apabila sejarah Perang Bubat dan sejarah kerajaan lain di Nusantara dibongkar kembali. Ada sisi positif yang bisa diambil, setidaknya sebagai bahan motivasi dan menambah pengetahuan bagi masyarakat, terutama anak-anak muda.

"Tapi ada bagusnya, sejarah kembali dibongkar. Kita semua jadi tahu, bertambah pengetahuan, pasti ada hikmah yang bisa diambil dari kisah sejarah itu," kata Erik.

Perang Bubat Obsesi Gajahmada

Sementara itu menurut Erik sebagai budayawan Sunda, perang Bubat itu terjadi lebih disebabkan oleh obsesi seorang Mahapatih Majapahit, yakni Gajahmada melaksanakan perintah pimpinannya.

"Sebagai seorang patih dia memiliki obsesi untuk melaksanakan tugas atau visi Hayam Wuruk untuk mempersatuan kerajaan di Nusantara. Dia ingin semua kerajaan di bawah kendali Majapahit," kata Erik.

Sebuah sikap yang menurut Erik wajar dilakukan oleh seorang patih, karena menjalankan tugas pimpinan akan selalu menjadi obsesi anak buah. Walaupun pada pelaksanaannya ternyata ada gesekan dan terjadi kesalahpahaman.

Pecah perang Bubat, menurut Erik karena ada perbedaan persepsi. Gajahmada berasumsi bahwa Dyah Pitaloka adalah persembahan dari kerajaan Sunda, sebagai bentuk rasa tunduk kepada Kerajaan Majapahit. Sementara persepsi Kerajaan Sunda, Dyah Pitaloka akan dijadikan istri oleh Hayam Wuruk Raja Majapahit.

Padahal kata Erik, Raja Hayam Wuruk sendiri tidak menginginkan hal itu terjadi. Karena dalam purbatisti dan purbajati pada zaman itu, sebuah kerajaan dilarang untuk menguasai atau menginvasi kerajaan leluhurnya.

"Purbatisti dan purbajati itu dapat dibilang aturan baku semacam garis besar haluan negara. Nah Hayam Wuruk sendiri sebagai raja dia tahu, tak mungkin menguasai wilayah kerajaan Galuh atau tanah Sunda, karena dia sendiri merupakan keturunan Raja Galuh. Tak bisa dia menguasai tanah leluhurnya," kata Erik.

Hal ini berbeda dengan persepsi seorang Gajahmada yang memang tidak memiliki darah keturunan seperti Hayam Wuruk. Kedatangan rombongan kerajaan Sunda justru dianggap peluang untuk menghabisinya.

"Tapi sekali lagi saya ingin menegaskan bahwa ini sebatas cerita sejarah. Kita jangan 'baper', apa yang terjadi saat itu, berbeda dengan sekarang. Berbeda jaman, beda kondisi, beda situasi. Justru kita harus pandai memetik pelajaran dari sebuah kisah sejarah," kata Erik.

Simak juga Video: Gap Usia 'Ideal' Pasangan adalah 3 Tahun?

[Gambas:Video 20detik]



(ern/ern)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads