Lengkingan putaran roda besi yang mencengkeram rel terdengar keras di teras rumah Ani (52), warga, Kelurahan Husein, Kecamatan Cicendo, Kota Bandung. Lengkingan itu datang bersamaan dengan getaran konstan dari sebuah kereta api lokal yang melintas sore itu.
"Ah sudah biasa, suara begitu mah. Kalau orang yang baru pindah ke daerah sini, suka kaget. Apalagi kalau malam, saat kereta peti kemas melintas tengah malam, saya sih sudah puluhan tahun di sini, jadi tidur juga tetap lelap," kata Ani saat berbincang dengan detikcom, belum lama ini.
Tempat tinggal Ani hanya selemparan batu dari rel kereta Daop 2 Bandung. Rumahnya dan rel kereta hanya berjarak kurang lebih empat hingga lima meter, posisi keduanya tersekat oleh pagar pembatas dari besi. Walau tersekat pagar, tapi ada celah bagi warga untuk masuk ke perlintasan kereta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wanita yang telah tinggal di pinggiran rel selama puluhan itu mengaku aktivitas warga sekitar tak bisa dijauhkan dari rel kereta. Rel kereta, dikatakan Ani menjadi ruang terbuka alternatif bagi warga yang tinggal di wilayah pinggiran.
Baca juga: Pasang Badan Menolak Pembongkaran Rumah |
Jalan umum di pinggir rel kereta di pemukiman Ani cukup sesak. Warga harus berdempetan bila melintas karena hanya memiliki lebar kurang lebih 1,5 meter, sementara ruang yang tersedia di pinggiran rel lebih leluasa.
"Soal ruang terbuka buat anak-anak ada sih, dan jaraknya tidak terlalu jauh juga. Tapi ya, mungkin anak-anak juga sudah diperingatkan, tapi tetap saja mainnya di sekitar rel, khawatir sih ada," ucap Ani.
Tak jarang juga, ia memergoki sejumlah pasangan yang memadu kasih di atas jalur si 'ular besi'. Aktivitas itu biasanya ditemukan saat menjelang sore hingga malam hari.
"Warga juga sudah biasa, bahkan kalau sore atau malam suka ada yang pacaran di pinggir rel. Mereka tidak takut dengan kereta yang melintas, karena mungkin sudah terbiasa ya mendengar suara atau rel yang bergetar. Lagipula kan di sini dekat ke Stasiun Ciroyom, jadi kereta yang melintas juga lebih pelan," tutur Ani menambahkan.
Di seberang rumah Ani terdapat bangunan liar yang dibangun oleh para pemulung, rumah-rumah semi permanen itu bahkan jaraknya lebih dekat dengan rel dan tanpa sekat. Pantauan detikcom, penghuni rumah dan warga sekitar pun tampak bersantai di sore hari di sana.
"Dulu sekitar tahun 1980-an, KAI pernah melakukan penertiban. Bangunan yang liar juga diratakan, dulu di sini sempat ditanami oleh tanaman kebun, tapi enggak lama tahun 90 apa 2000 saya agak lupa, ada yang bermukim di sana satu orang, kemudian lama kelamaan jadi makin banyak, ada yang dari Jawa, Garut. Tukang becak juga membangun rumah singgah di sana," ucapnya.
Aturan Rumah Tanpa Seng Menjorok ke Rel
Ani mengatakan tinggal di pinggiran rel kereta api bukanlah pilihan hidup yang terbaik, pasalnya tanah yang ia pijak untuk membina biduk rumah tangga dengan suaminya merupakan tanah milik PT KAI.
Baca juga: Balada Pengayuh Pedal Palang Pintu Manual |
"Ya kalau ibu sih di sini sudah dikasih izin, sudah nyaman juga tinggal di sini," ucapnya.
Menurutnya, ada aturan yang tak biasa untuk warga yang tinggal di pinggiran rel. Yakni, jangan membangun rumah dengan atap seng yang menghadap ke rel kereta. Alasannya, karena seng yang menjorok ke badan rel bakal bikin celaka masinis dan penumpang kereta di dalamnya.
"Katanya sih dulu pernah ada kejadian di Surabaya, saat masinis turun dari kereta, kena seng warga," kata Ani.
Selama puluhan tahun ia tinggal di sana, kasus kecelakaan warga yang tertabrak kereta sangat jarang terjadi. "Kalau di sini mah sangat jarang, tapi pernah ada kejadian di daerah Industri Dalam sama Jatayu ya, kalau di sini aman, alhamdulillah," katanya.
Lihat juga Video: Kereta Cepat JKT-BDG Kini Dibiayai APBN, PKS: Belum Tentu Manfaat