Masjid Agung Sumedang menjadi salah satu bangunan cagar budaya di Sumedang. Masjid yang dipengaruhi seni arsitektur Cina ini, bentuk dan sebagian bangunannya masih terjaga keasliannya hingga kini.
Masjid Agung Sumedang dibangun tahun 1850 saat Bupati Sumedang dijabat oleh Pangeran Suria Kusumah Adinata atau dikenal dengan Pangeran Sugih (1836-1882). Masjid tersebut dibangun di atas tanah wakaf dari Raden Dewi Siti Aisyah.
Masjid Agung Sumedang awalnya memiliki luas bangunan 583,66 meter persegi di atas tanah seluas 6.755 meter persegi. Pembangunannya sendiri dimulai pada tanggal 4 Rajab 1267 H atau 3 Juni 1850 M dan selesai pada tanggal 8 Ramadhan 1270 H atau 5 Juni 1854 M.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bangunan tersebut kemudian diperluas saat Bupati Sumedang dijabat oleh Pangeran Aria Suria Atmadja atau dikenal juga dengan sebutan Pangeran Mekah (1883-1919). Bangunan Masjid Agung Sumedang mengalami pelebaran ke depan, samping utara dan samping selatan dengan penghulunya K.H.R. Muhammad Hamim.
Pada saat pengelolaannya diserahkan kepada Departemen Agama Kabupaten Sumedang, Masjid Agung Sumedang mengalami tiga kali pemugaran. Pemugaran pertama dilakukan tahun 1952 pada masa kepala Dinas Urusan Agamanya dijabat oleh MS. Muhammad Soemarya.
Pada masa ini pula, kekokohan Masjid Agung Sumedang diuji saat bencana gempa terjadi. Gempa pada waktu itu memporak porandakan tribun Pacuan Kuda di Sindangraja serta merobohkan benteng Gedung Negara yang tidak jauh dari lokasi Masjid. Namun bangunan Masjid tetap kokoh hanya sebagian kecil yang mengalami kerusakan. Kemudian dilakukan renovasi dengan menambahkan ornamen-ornamen Turki di bagian sebelah timur.
Pemugaran kedua tahun 1982 atau pada saat Kepala Kantor Departemen Agama dijabat
oleh Buchori Mu'tasim. Pemugarannya selesai pada tanggal 9 Juni 1988 yang diresmikan oleh Gubernur Jawa Barat kala itu, yakni Yogie Suardi Memet dan Bupati Sumedang Sutarja.
Dalam renovasi kedua ini, atap diganti dengan beton. Sementara tiang-tiang penyangga besi dilapisi kayu triplek.
Sementara pada pemugaran ketiga pada 27 September 2002 diprakarsai oleh Bupati Misbach. Peresmiannya sendiri oleh Gubernur Jawa Barat Donny Setiawan dan Bupati Sumedang Don Murdono pada
tanggal 22 April 2004.
Dalam pemugaran ketiga banyak perubahan dan penambahan seperti pembangunan menara adzan setinggi 35,5 meter. Kemudian banyak dilakukan renovasi pada bagian-bagian masjid seperti renovasi tempat wudhu, penampungan air, toilet, dan tempat bedug.
Pada pemugaran ketiga juga dilaksanakan pembangunan ruang DKM dan kesekretariatan yang diresmikan pada Mei 2007 oleh Bupati Sumedang H. Don
Murdono.
Arsitektur Masjid Agung sendiri dipengaruhi oleh seni arsitektur Cina. Itu dapat terlihat pada motif yang ada pada bagian atas kusen pintu, jendela, dan mimbar.
Pengaruh Cina pun masuk pada atap masjid yang bersusun tiga adaptasi dari bentuk pagoda. Sementara pengaruh kolonial peninggalan Belanda dapat terlihat pada bentukan kolomnya berupa deretan jendala besar-besar dengan bentukan kolom Yunani yang pada ujungnya berbentuk setengah lingkaran.
Salah Satu Pegiat Literasi asal Sumedang, Dedi Kusmayadi Soerialaga menjelaskan orang Cina yang mendesain atau mempengaruhi arsitektur Masjid Agung Sumedang masih ada hubungan dengan orang-orang Cina yang ditempatkan di Gunung Cina, Kelurahan Kota Kulon Kecamatan Sumedang Selatan oleh Pangeran Sugih.
Jadi, lanjut Dedi, pada masa Sunan Gunung Jati beristrikan Ratu Ong Tien asal Tionghoa, Belanda menyerangnya hingga menyebabkan para pengawal ratu Ong tien yang berasal dari Dinasti Tang banyak yang berpindah ke daerah Sumedang serta meminta suaka perlindungan kepada Pangeran Sugih yang kemudian ditempatkan di Gunung Cina.
"Itu kenapa di Daerah Sumedang ada nama Gunung Cina dekat makam Pasarean Gede, jΓ di yang mendesain Masjid Agung Sumedang adalah orang Cina yang masih ada keturunan dengan orang-orang Cina yang ditempatkan di Gunung Cina," kata Dedi yang masih ada garis keturunan dengan Pangeran Sugih dari Raden Rangga Soerialaga kepada detikcom, Selasa (5/10/2021).
Dedi melanjutkan sementara keturunan Keraton Cirebon yang lari ke Sumedang oleh Pangeran Sugih ditempatkan di Daerah Conggeang. Sebagai cirinya hingga sekarang berdiri sebuah Pesantren bernama Pesantren Asropudin.
"Makanya tidak heran perawakan-perawakan ustad disana mirip orang-orang Arab," katanya.
Desain Masjid Agung Sumedang dibuat oleh buyut dari Haji Tiong yang makamnya sudah dipindahkan ke Pasir Malang atau makam bebuyut orang Tionghoa di Sumedang.
"Dulu di Gunung Cina ada tiga makam namun dialihkan ke Pasir Halang sebagai makam bebuyut orang-orang Cina," pungkasnya.
Dedi menambahkan motif yang ada di Masjid Agung Sumedang sendiri terpengaruh oleh motif-motif dalam filosofi ajaran Budha.
"Jadi bukan terpengaruh ajaran Im Yang (Tao) atawa Kong Hu Cu," ujarnya.