Siapa yang tidak ingin menghabiskan masa tua dengan bergelimang harta, hidup santai dan tanpa beban dari sebuah jabatan. Gambaran itu jauh bagi Nenek Iroh (83) warga Dusun Karasak, RT/RW 03/O2, Desa Sukarapih, Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang.
Tubuhnya yang telah ringkih masih harus berjuang untuk menghidupi ketiga cucunya, Kartika Haryani (16), Riki Saepul (11) dan Ucup Rosidin (3,5). Cucu pertamanya bahkan memilih untuk berhenti sekolah sampai kelas 2 SMP lantaran himpitan ekonomi.
Sementara ibu dari ketiga cucunya yang tidak lain adalah anak Nenek Iroh, yakni Eni Sumarni (35), agak sedikit terbelakang. Adapun menantunya, Ade Saepudin, hanya bekerja serabutan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rumah Nenek Iroh berada di atas lahan milik PJKA yang masuk dalam kategori Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu). Rumah dengan material campuran triplek dan anyaman bambu berukuran kurang lebih 4 meter X 5 meter itu terpaksa ia tinggali bersama anak menantu dan ketiga cucunya.
Belum lagi di beberapa bagian rumahnya perlu mendapatkan perbaikan. Jangankan barang mewah, dapurnya pun masih mengandalkan tungku dan wajan gosong yang posisinya berada di halaman rumah.
Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, Mak Iroh harus berjuang dengan menjadi penjual kacang rebus. Kacang rebus yang dijualnya pun bukan miliknya namun milik orang lain dengan keuntungan yang tidak seberapa.
Ia biasa berjualan di sekitaran pasar Tanjungsari Sumedang. Kacang rebus yang dijual, dihargainya Rp 2.500 per bungkus. Dalam sehari, ia hanya mendapat keuntungn sebesar Rp 20 ribu.
Keuntungan tersebut sangatlah tidak sebanding jika melihat kondisi dan perjuangan Nenek Iroh yang telah berusia senja. Setiap harinya, ia harus menempuh jarak sejauh 2 kilometer dengan berjalan kaki untuk menjual kacang rebusnya itu.
Tidak jarang Nenek Iroh harus menahan rasa lapar saat hendak pergi berjualan. Hal itu dilakukannya untuk mengirit biaya pengeluaran. Bahkan saat pulang membawa makanan, Nenek Iroh sering lebih mengutamakan anak dan cucunnya.
Faktor usia membuat tangan Nenek Iroh tampak terlihat sering bergetar. Meski begitu, sikap ramahnya ia perlihatkan dari senyum yang selalu dipancarkannya.
Nenek Iroh bercerita bahwa sejak suaminya meninggal dunia, ia lebih memilih hidup sendiri untuk membesarkan ketiga anaknya. "Dari masih muda Ema (Mak Irioh) sendiri, karena anak-anak tidak rela kalau Ema sampai punya suami lagi," ungkap Mak Iroh kepada detikcom beberapa hari lalu.
Nenek Iroh yang memiliki tiga orang anak tersebut terpaksa masih harus mencari nafkah lantaran kondisi keluarganya yang rata-rata bernasib sama dengan dirinya. Kondisi pandemi Covid-19, membuat ekonomi keluarganya semakin terhimpit.
"Anak pertama kuli pahpir, anak kedua sama seperti Ema jualan kacang sama genjer, kalau tidak habis diedarkan juga sama emak untuk dijual, kalau anak ketiga Eni Haryani tidak bisa diandalkan karena rada terbelakang ," ungkap Ema.
Nenek Iroh mengaku sepanjang pandemi Covid-19, dirinya hanya sekali menerima bantuan. Meski begitu, Nenek Iroh pantang untuk jadi peminta-minta.
"Kadang kalau mau beli buat lauk pauk ke pasar, pedagang di pasar tidak mau menerima uang Ema, Alhamdulillah banyak yang sayang, karena Ema sudah dari dulu kenal dengan pedagang, karena Ema juga sudah dari dulu berdagang apa saja yang bisa dijual," ungkapnya.
Kini disisa usianya, Mak Iroh hanya berharap semoga dirinya dan keluarganya diberi kesehatan. Dia pun berharap agar cucunya bisa kembali melanjutkan sekolahnya.
"Ya semoga saja Ema terus sehat, kalau tidak kerja siapa yang mau mencukupi kebutuhan di sini," ujarnya.
(mso/mso)