Monumen Lingga, Jejak Bupati Sumedang Terakhir Bergelar Pangeran

Monumen Lingga, Jejak Bupati Sumedang Terakhir Bergelar Pangeran

Nur Azis - detikNews
Jumat, 10 Sep 2021 14:58 WIB
Menelisik sejarah Monumen Lingga yang berdiri kokoh di Alun-alun Sumedang
Menelisik sejarah Monumen Lingga yang berdiri kokoh di Alun-alun Sumedang (Foto: Nur Azis)
Sumedang -

"Pangabakti Ka Suwarginan Pangeran Soeriaatmadja, Bupati Sumedang 1883-1919, ping 1 Juni 1919". Demikian tulisan yang tertera pada bagian Monumen Lingga yang berada di Alun-alun sebagai jantung pemerintahan Kabupaten Sumedang.

Monumen ini diabadikan juga ke dalam lambang Kabupaten Sumedang. Itu menandakan betapa berartinya akan sosok satu ini, yakni Pangeran Suria Atmadja di masa Pemerintahan Hindia Belanda kala itu, pun hingga kini.

Sekedar diketahui, Monumen Lingga dibangun sebagai bentuk penghormatan Pemerintah Hindia Belanda dengan Gubernur Jenderal kala itu, yakni Mr. Dirk Fock kepada Pangeran Suria Atmadja pada April 1922.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pangeran Suria Atmadja memiliki nama kecil, yakni Raden Sadeli atau dipanggil Aom Sadeli yang lahir pada 11 Januari 1851. Dia menjadi Bupati Sumedang terakhir yang menyandang nama gelar Pangeran. Sehingga dikenal juga dengan sebutan Pangeran Panuntung (Pangeran Penghujung).

Jasa-jasanya bagi pembangunan Kabupaten Sumedang sangat banyak. Mulai dari bidang pertanian, pendidikan, kesehatan, kehutanan, perekonomian, politik dan bidang lainnya.

ADVERTISEMENT

Maka tidak heran semasa hidupnya mendapatkan beragam macam penghargaan dari pemerintah Hindia Belanda. Diantaranya tanda jasa Groot Gouden Ster (1891) dan dianugerahi beberapa bintang jasa tahun 1901, 1903, 1918. Payung Songsong Kuning tahun 1905, Gelar Adipati 1898, Gelar Aria 1906 dan Gelar Pangeran 1910.

Bahkan konon dengan pengaruhnya, ia mampu mengambil alih dari Pemerintah Hindia Belanda untuk melindungi dan memenuhi segala kebutuhan tokoh Pahlawan Nasional, yakni Cut Nyak Dien saat dibuang ke Sumedang. (Forum keluarga H. Husna bin KH. Sanusi Sumedang, 2008)

Sebagai seorang pemimpin, Pangeran Suria Atmadja dikenal sebagai pribadi yang sangat sederhana dan saleh. Seusai menjabat sebagai Bupati Sumedang, ia pun pergi untuk melaksanakan ibadah haji ke Kota Suci Mekah hingga menghembuskan nafas terakhirnya pada 1 Juni 1921 di sana. Dari sinilah ia pun dikenal dengan sebutan Pangeran Mekah.

Ketua Dewan Kebudayaan Sumedang (DKS) Apih Tatang mengatakan Pangeran Suria Atmadja merupakan putra ke-9 dari Pangeran Sugih atau pangeran Suria Kusumah Adinata. Ia diangkat menjadi Bupati Sumedang dalam usia 32 tahun.

"Pangeran Suria Atmadja dikenal sebagai sosok yang cerdas, bijaksana, jujur dan berupaya memajukan Sumedang," ungkap Apih saat dihubungi detikcom, Jumat (10/9/2021).

Sebelum menjadi Bupati Sumedang, lanjut dia, ia menjabat sebagai afdeeling di Sukapura Kolot di Mangunreja. Sebagai seorang yang yang sangat memperhatikan nasib rakyat Sumedang, ia berupaya memajukan bidang pertanian, peternakan, kehutanan, pendidikan, dan kesehatan.

"Dalam bidang pertanian ia (Pangeran SuriaAtmadja) memperkenalkan pengolahan tanah yang baik, terutamaterasering dan pembuatan lahan berundak-undak dengan harapan mencegah erosi," terangnya.

Apih menyebutkan salah satu jasanya di bidang pendidikan yang hingga kini masih bisa dilihat, yakni keberadaan Universitas Winaya Mukti (Unwim). Saat itu, kata dia, pangeran Suria Atmadja membeli tanah di Tanjungsari yang diperuntukan untuk pembangunan Sekolah Pertanian.

"Sebelum menjadi Unwim dulu pernah ada Akademi Pertaniain Tanjungsari," ujarnya.

Dalam bidang pendidikan lainnya, pangeran Suria Atmadja juga mendirikan Sekolah Desa (volkschool). Ia pun kerap memberikan hadiah kepada murid yang berprestasi berikut dengan gurunya.

"Termasuk mendirikan pendidikan agama sangat mendapat perhatian," kata Apih.

Belum lagi dibidang lainnya, seperti peternakan, perikanan dan ekonomi.

"Masih banyak keberhasilan beliau dalam bidang-bidang lainnya," ucapnya.

Nina Lubis dalam bukunya, Kehidupan Menak Priangan 1800-1942 (1998), menyebutkan pangeran Suria Atmadja atau Pangeran Mekah masuk ke dalam tokoh menak dalam jajaran birokrasi tradisional.

Birokrasi Tradisional dapat dibedakan menjadi dua, yakni antara yang tidak atau kurang mendapat pendidikan Barat dan yang mendapat pendidikan Barat. Hal itu lantaran pendidikan Barat baru masuk pada abad 19.

Meski Pangeran Suria Atmadja tidak mengenyam pendidikan Barat, namun disebutkan bahwa dia pernah belajar bahasa Belanda. Saat usianya menginjak 14 tahun, ia pernah magang sambil belajar bahasa Inggris dan Perancis, selebihnya dijalani secara natural ditambah pendidikan agama di pesantren.

Dia juga termasuk bupati yang menyukai seni sastra. Bahkan ia pernah menulis lirik lagu untuk tarian yang diciptakannya. Tahun 1921 ia juga menuliskan sebuah karangan yang berjudul Ditiung MΓ©mΓ©h Hujan (Bertudung Sebelum Hujan).

Karangannya itu berisi saran kepada Pemerintah Hindia Belanda agar orang pribumi diberi latihan memegang senjata untuk menghadapi musuh yang akan merecoki pemerintahan Hindia Belanda. Buku yang ditulisnya itu ditafsirkan orang sebagai ramalan akan datangnya pendudukan Jepang.

Ia pun kerap menulis surat kepada pejabat bawahannya menggunakan puisi dengan pupuh berupa sinom, dangdanggula, kinanti, dan asmarandana.

Betapa berartinya sosok Pangeran Aria Suria Atmadja atau Pangeran Panuntung atau Pangeran Mekah bagi masyarakat Sumedang, selain dibuatkan monumen oleh pemerintah Hindia Belanda. Monumennya pun kini dijadikan lambang bagi Kabupaten Sumedang.

Lambang tersebut dibuat oleh R. Maharmartanagara. Putra Bupati Bandung Raden Adipati Aria Martanegara yang masih merupakan keturunan Sumedang. Lambang ini diresmikan menjadi Lambang Kabupaten Sumedang pada tanggal 13 Mei 1959.

Halaman 2 dari 2
(mud/mud)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads