Langkahnya tegap menyusuri jalan setapak rel kereta api. Satu tangannya menenteng jualan permen jahe yang akan dia jajakan dari bus ke bus di Kecamatan Cibadak. Siapa sangka, pria yang kini berjualan asongan itu juga berprofesi sebagai guru honorer.
Namanya Herman. Usianya 48 tahun. Dia warga Kampung Kamandoran, Desa Karangtengah, Kecamatan Cibadak.
Sejak 2010, Herman bekerja sebagai guru honorer di salah satu sekolah menengah. Lalu, pada 2014, dia mengajar di beberapa sekolah dasar (SD). Semenjak Pandemi COVID-19 melanda negeri, penghasilan Herman yang biasa dia peroleh tiga bulan sekali sebagai guru honorer terpaksa disetop.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Herman ogah mengibarkan bendera putih alias menyerah untuk menghidupi empat putrinya. Dia memilih untuk bekerja sebagai penjual asongan meskipun penghasilannya tidak lebih baik dari mengajar sebagai guru honorer.
"Tahun 2010 itu mengajar di SMA Al-Hidayah, kemudian tahun 2014 saya mendapat mandat untuk mengisi pencak silat di 10 Sekolah Dasar (SD) di Kecamatan Cibadak. Ada pengangkatan dari ketua IPSI Kabupaten Sukabumi Pak Haji Iyos yang saat itu sekda (sekarang Wabup Sukabumi)," tutur Herman, Sabtu (28/4/2021).
![]() |
Ia bercerita alasannya menjadi pedagang asongan ketika penghasilannya sebagai guru dicabut semenjak Pandemi COVID-19. Dia kemudian turun ke jalan, banting setir menjadi pedagang asongan.
"Saya turun ke jalan karena honor yang tiga bulan sekali tidak ada ketika COVID masuk, dicabut anggaran tersebut. Untuk menafkahi anak-anak, saya banting setir berjualan asongan di jalan. Walau diawal saya malu karena bertemu rekan-rekan guru, apalagi sama murid. Sebelum berangkat, saya mengajar anak-anak sendiri. Saya bercerai dengan istri sudah tujuh tahun," ujar Herman.
Sebelum berangkat jualan, Herman lebih dahulu mengajar putrinya yang harus sekolah daring. Dengan penghasilan saat ini, Herman mengaku kebingungan karena anak-anaknya harus membeli kuota untuk belajar daring.
"Saya berangkat siang, penghasilan jualan tidak seberapa karena pandemi, karena penumpang sepi. Penghasilan Rp 20 ribu, kadang Rp 10 ribu, kadang malah tidak dapat sama sekali untuk dibawa ke rumah. Untuk makan saja susah, apalagi untuk sekolah yang saat ini daring untuk membeli kuota," tuturnya.
![]() |
Herman kembali menyusuri jalan, setiap bus yang ngetem di Cibadak ia naiki. Ada lima penumpang di dalam bus yang ditawarinya permen jahe merah. permen tersebut dia dapatkan dari salah satu agen di Sukabumi. Tidak ada yang membeli, ia kemudian melompat turun dari bus, lalu kembali menunggu bus lainnya.
"Beginilah situasi pandemi, kadang bus isinya hanya 5 orang kadang kosong. Ini juga berdampak pada penghasilan saya, harapan saya pandemi berlalu dan perekonomian kembali pulih, sehingga saya bisa kembali mengajar," ucap Herman.
(sya/bbn)