Deretan buku dengan beragam judulnya tampak begitu rapi berjejer di rak-rak buku yang nenempel ke dinding ruangan. Lantai yang disepuh kaki telanjang menjadikannya bersih berkilau sekaligus menjadi penanda entah berapa banyak orang yang telah datang ke sini. Salah satunya, detikcom saat sengaja mengunjungi perpustakaan Batu Api.
Seorang pria yang sedang merapikan buku langsung menyambut kedatangan saya dengan gerakan salam yang tidak bersentuhan, maklum sedang masa pandemi Covid-19. Berikut diketahui, pria itu namanya Anton Solihin, pemilik perpustakaan.
Dia masih setia mengoleksi ribuan buku fisik di tengah gempuran digitalisasi. Beragam judul buku baik yang masih beredar di pasaran atau yang sudah jarang bahkan tidak lagi dapat dijumpai di pasaran, ia koleksi dengan rapi.
Sebut saja seperti buku Riwayat Kandjeng Nabi Muhammad SAW yang ditulis oleh R.A.A Wiranata Koesoemah mantan bupati Bandung periode 1920-1931 dan 1935-1945. Bahkan buku mein kampf berbahasa Jerman karyanya Adolf Hitler yang sempat dilarang bisa didapati disana serta judul buku lainnya yang kerap dijadikan referensi oleh mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi, tesis atau disertasi.
Bahkan, Anton mengaku pernah dikunjungi oleh orang dari Kedubes Rusia yang sedang membutuhkan referensi buku tentang sejarah Rusia berbahasa Indonesia.
"Waktu itu orang dari kedubes Rusia datang sengaja kesini untuk cari buku, karena mungkin diperpustakaan kampus tidak ada makanya datang kemari," ungkap Anton sambil tersenyum.
Perpustakaan Batu Api sendiri beralamat di Jalan Raya Jatinangor No142 A, Cikeruh, Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Seperti diketahui di kawasan ini bercokol beberapa kampus ternama di Indonesia, seperti Universitas Padjadjaran, Institut Teknologi Bandung dan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
Layaknya kawasan pendidikan, beberapa toko buku banyak ditemui di beberapa titik tapi itu dulu. Kini, seiring masuknya era digitalisasi, pedagang buku pun satu-satu mulai gulung tikar lantaran para pembacanya banyak beralih ke format ebook. Dari sekian banyak toko buku yang pernah ada, hanya ada beberapa toko buku yang masih eksis termasuk perpustakaan Batu Api.
Menurut Anto, era digital membawa keuntungan tersendiri baginya. Pasalnya, perpustakaan Batu Api menyediakan banyak buku langka berbahasa indonesia yang masih banyak diminati oleh para mahasiswa saat mereka membutuhkan referensi.
"Ebook-kan kebanyakan berbahasa inggris sementara mahasiswa banyaknya suka referensi yang berbahasa indonesia karena mudah dipahami, jadi referensi bahasa inggrisnya hanya pelengkap saja, makanya sampai sekarang Batu Api bisa bertahan," ungkap pria lulusan Unpad 1987 ini.
Secara garis besar buku-buku yang dikoleksinya jenis-jenis buku humaniora, agama, sastra, filsafat geografi, sain populer, antropologi dan beberapa buku kiri. Para pengunjung yang datang bukan saja dari mahasiswa yang ada di kawasan Jatinangor saja tapi banyak juga mahasiswa ataupun umum dari luar Jatinangor seperti UIN Bandung, Tasikmalaya, Garut dan orang-orang dari luar Jatinangor dengan berbagai latar belakang dan kebutuhannya.
"Makanya meski ada pengurangan jumlah pengunjung, selama masa pandemi ini, masih saja ada mahasiswa atau bukan mahasiswa yang sengaja datang untuk mencari sumber referensi buku," katanya.
Selain buku, perpustakaan Batu Api juga mengoleksi ribuan judul film dan musik dari berbagai negara lengkap dengan panduan literasinya. Tak melulu soal Hollywood senstris, para member perpustakaan ini menjadi kaya wawasan akan budaya bangsa-bangsa lain dari film dan musik tersebut.
"Tiga yang kita koleksi, buku, musik dan film. Musiknya, musik-musik semisal tradisi Indonesia dari berbagai zaman dari era tahun 20-an sampai 50-an, musik tradisi pegunungan Andes di Amerika latin sana, musik dari Ruwanda dan banyak lagi," terangnya.
Pada masa tidak pandemi, Perpustakaan Batu Api sering menggelar acara diskusi atau nonton bareng dengan sejumlah sastrawan atau sejarawan yang sudah terkenal di Indonesia. Bahkan adakalanya tokoh dari luar Negeri.
"Seperti saat itu kita mengundang Seno Gumira Ajidarma dan Ayu Utami, bahkan kita juga pernah mendatangkan Harry Poeze, beliau ini sejarawan Belanda yang telah banyak menulis tentang sosok Tan Malaka dari sejarah hingga kiprahnya dalam perjuangan, pokoknya banyak penulis dan sejarawan yang sudah jadi pembicara disini," ungkapnya.
Anton menyebutkan, perputakaan Batu Api berdiri pada 1 April 1999. Alasan didirikan perpustakaan Batu Api lantaran dari hobi membacanya. Ia pun mengingat tempat yang menjadi favoritnya di era tahun 90an, yakni British Council di Jalan Tamblong, Kota Bandung. Bukan tanpa alasan tempat itu dipilihnya, itu karena koleksi bukunya yang begitu banyak.
"Nah pas lagi suka-sukanya nongkrong disana (British Council) eh tiba-tiba tutup, mungkin itu bisa jadi salah satu alasan juga kenapa Batu Api dididirikan," katanya sambil tea.
Anton yang mengoleksi buku dari mulai kecil-kecilan hingga sekarang menjadi sebuah "pusat peradaban" akan literasi di Jatinangor, kini tinggal menuai hasilnya.
"Wah dulu saya mulainya tanpa kesengajaan, karena cinta pada buku saya suka hunting ke daerah Cihapit disana banyak buku loakan saya beli dan dikoleksi, eh lama-lama jadi banyak," ujarnya
Bagi para mahasiswa atau pengunjung yang ingin menyewa buku di Perpustakaan Batu Api diwajibkan untuk daftar menjadi anggota.
"Untuk jadi member, para pengunjung pertamanya isi formulir kemudian bayar uang pendaftaran sebesar Rp 15 ribu dan bagi setiap pengunjung yang akan menyewa buku harus membayar Rp 3 ribu per buku persatu minggu," pungkasnya.
(mud/mud)