Wacana pemerintah dalam memberikan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi sembako, mendapatkan penolakan dari serikat buruh di Jawa Barat. Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI Roy Jinto Ferianto mengatakan, kebijakan tersebut bisa memberatkan rakyat, khususnya kaum buruh yang memiliki penghasilan pas-pasan.
Menurut Roy penambahan pajak pada sembako, akan membuat daya beli buruh menurun. Menurutnya, pandemi ini jelas-jelas menurunkan pendapatan buruh, bahkan di antaranya sampai kehilangan pekerjaan atau dirumahkan.
"Pasti menolak, karena menurut kami ini memberatkan. Hal tersebut bisa menurunkan daya beli masyarakat, target pemerintah di kuartal kedua dan ketiga di titik 5 persen tidak akan tercapai, karena penyeimbang terbesar adalah daya beli," ucap Roy saat dihubungi detikcom, Senin (14/6/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menyoroti program Diskon pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang dinilainya malah kian melebarkan kesenjangan sosial di antara warga yang memiliki harta berlebih dan warga yang memiliki harta pas-pasan.
"Kalau melihat pajak ini yang diuntungkan itu yang menengah ke atas, berbeda dengan pajak sembako yang notabene merupakan kebutuhan pokok. Kalau sampai diberi pajak ini yang akan memberatkan rakyat, apalagi teman-teman buruh," ucap Roy.
"Yang kaya makin kaya dengan adanya tax amnesty dan PpnBM, sedangkan masyarakat kecil seolah-olah mensubsidi orang kaya (dengan pajak sembako)," ucapnya.
Pakar Ekonomi sekaligus Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Sunan Gunung Djati Bandung Setia Mulyawan mengatakan kebijakan tersebut akan membawa dampak luas di tengah masyarakat. Apalagi, kata dia, komoditas sembako merupakan barang-barang yang tidak bisa dihindari dari segi konsumsinya.
"Sebetulnya saya juga agak kaget mendengar berita itu. Tapi seandainya wacana ini diimplementasikan sekarang tentu saja saya termasuk yang tidak setuju dalam keadaan seperti sekarang. Dampaknya tentu kontradiktif dengan ikhtiar kita memicu pertumbuhan ekonomi," kata Setia saat dihubungi detikcom beberapa saat lalu.
"Tentu yang paling kena dampaknya mereka yang penghasilannya rendah (dalam tanda kutip) kelompok masyarakat bawah. Masyarakat bawah ini sebagian besar dari pendapatannya akan digunakan untuk belanja kebutuhan konsumsi. Nah mereka semakin tidak punya kelebihan kapasitas pendapatan untuk kepentingan lain," tuturnya.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) buka suara soal hebohnya rencana Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sembako dan pendidikan. Hal itu memang diakui akan diberlakukan untuk menyasar kalangan menengah atas.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP, Neilmaldrin Noor mengatakan tidak semua sembako akan dikenakan PPN. Melainkan yang diusulkan dalam draf Perubahan Kelima Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) hanyalah bahan-bahan kebutuhan pokok yang sifatnya premium.
"Terkait sembako tadi misalnya barang-barang kebutuhan pokok yang dijual di pasar tradisional ini tentunya tidak dikenakan PPN. Akan berbeda ketika sembako ini sifatnya premium, (jadi) barang-barang kebutuhan pokok yang dikenakan (pajak) adalah kebutuhan pokok premium," katanya dalam media briefing soal perubahan UU KUP, Senin (14/6/2021).
Simak video 'Dedi Mulyadi Tolak Wacana PPN Sembako: Membebani Petani-Pembeli':