Kelompok Kerja (Pokja) Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Kabupaten Sukabumi angkat bicara terkait kasus yang menimpa Susan (31) guru honorer asal Kecamatan Cisolok yang mengalami kelumpuhan dan gangguan penglihatan usai vaksin COVID-19 tahap dua.
Ketua Pokja KIPI Kabupaten Sukabumi Eni Rahmawati mengatakan kasus yang dialami Susan baru pertama kali terjadi di Kabupaten Sukabumi. "Saya sudah belasan tahun pegang Pokja KIPI, baru sekarang ada kasus seperti ini. Dari Prof Kusnandi dari komda juga menyebut ini kasus yang sangat jarang. Maknya melibatkan banyak orang untuk investigasinya," kata Eni kepada detikcom, Kamis (29/4/2021).
Pokja KIPI masih menelusuri mendalam berkaitan hal-hal dialami guru Susan. Hingga kini pihaknya belum mendapat laporan kaitan investigasi yang dilakukan oleh para ahli tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya kan di Pokja KIPI Sukabumi, sampai hari ini belum mendapat tembusan laporan dari komda maupun komnas hasil investigasi dari para ahli. Biasanya kalau sudah selesai investigasinya, komnas atau komda paling rendah itu mengeluarkan pers rilis atau surat laporan yang menjelaskan sebetulnya apa yang terjadi dengan pasien yang mengalami KIPI," tutur Eni.
Bila kejadian menimpa guru Susan ini dianggap perlu ada pertemuan, Pokja KIPI akan diundang sebagai pihak yang berada di wilayah kejadian. "Saya juga belum tahu atau apakah ini ada hubungannya dengan vaksin atau tidak. Kalau misalnya ada hubungannya, pasti ada penjelasannya," katanya.
Pokja KIPI membantah adanya pembiaran terkait kasus tersebut. Menurut Eni, penanganan awal yang dilakukan justru sudah tepat dengan penanganan medis secara berjenjang mulai dari Puskesmas, RSUD Palabuhanratu hingga ke RSHS Bandung.
"Seperti ibu Susan ini, begitu kejadian, dalam hitungan setengah jam sudah sampai ke RS Palabuhanratu. Hari itu juga kita rujuk ke RSHS, itu dari segi klinisnya," ucap Eni.
Segi klinis, kemudian dilihat juga dari segi manajemen vaksin. KIPI telah investigasi vaksin tersebut.
"Dari segi manajemen vaksinnya kita investigasi juga, nomor lot dan sebagainya. Itu satu vaksin kan 10 orang, kita lihat yang 9 orang ada atau nggak mengalami hal yang sama," ujarnya.
"Itu kan nanti dicari, diagnosa akhirnya apa. Nanti para ahli, bedah buku dulu, ini sebetulnya penyebab penyakit apa saja. Bisa A, bisa B bisa C, bisa dikaitkan enggak dengan vaksin. Kalau bisa dikaitkan, sebelah mana, nggak gampang investigasi itu," tutur Eni menambahkan.