Sebuah perkampungan di pelosok Pandeglang, Banten seolah menjadi wilayah terisolir dari 'dunia luar'. Pasalnya, aktivitas warga di sana hanya ditopang oleh jalan setapak berukuran tak lebih dari 3 meter beralaskan tanah yang sama sekali belum pernah terjamah oleh pembangunan.
Namanya adalah Kampung Cangkeuteuk. Secara administrasi, kampung ini masuk ke Desa Banyuasih, Kecamatan Cigeulis, Pandeglang. Namun jangan harap kendaraan roda empat bisa masuk menembus perkampungan tersebut, sebab satu-satunya akses ke lokasi ini hanya berupa jalan setapak berukuran tak lebih dari 3 meter yang dipenuhi tanah liat berbatu dan harus melewati 3 aliran sungai tanpa adanya jembatan penyebrangan.
Untuk menuju lokasi, setidaknya dibutuhkan waktu kurang lebih satu jam dari ruas Jalan Tanjung Lesung-Sumur. Tak jauh dari kantor Desa Banyuasih, jalanan menuju Kampung Cangkeuteuk sudah dihadapkan dengan kontur jalan rusak berbatu yang masih belum pernah diperbaiki oleh pemerintah setempat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti saat detikcom mencoba menembus masuk ke lokasi perkampungan pada Rabu (31/3/2021) pagi. Di awal perjalanan, tepatnya setelah melalui jalanan berbatu, ada sebuah jembatan yang hanya bisa dilalui 1 kendaraan roda empat. Tak jauh di ujung jalan, jalur ini terputus oleh aliran sungai yang kerap meluap jika wilayah tersebut seharian diguyur hujan.
Namun untungnya, saat itu wilayah Pandeglang sedang cerah. Meski di beberapa titik masih terlihat jelas kubangan lumpur bekas guyuran hujan, tapi kondisi jalan masih bisa dilewati asalkan pengendara sepeda motor harus punya keahlian khusus saat melintas.
Setelah melewati aliran sungai dan menanjak sedikit melewati jalan bebatuan, suasana pemukiman penduduk mulai terlihat. Suasananya sangat sepi, sesekali hanya terdengar suara gonggongan anjing, ayam dan kambing yang memecah keheningan di perkampungan tersebut.
Setibanya di sana, sambutan hangat warga setempat terlihat begitu menyejukan. Sembari memperkenalkan dirinya, dia mempersilakan wartawan untuk duduk di amben rumah panggung yang mayoritas terbuat dari bahan bambu tersebut.
"Anu ti mana ieu kang? Sok mangga caralik hela. Saayana bae nyah, kang, ja kieu la kondisina (Dari mana ini kang? Silahkan duduk dulu. Seadanya aja yah, kang, kondisinya juga begini)," kata seorang warga bernama Ariman saat mengawali perbincangan dengan detikcom.
Ariman merupakan warga pendatang di kampung tersebut. Ia memutuskan untuk menetap di sama sekitar tahun 2010-an dan ikut tinggal bersama istri, anak dan mertuanya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Ariman dan mertua lelakinya biasanya pergi kebun untuk mengambil beberapa buah dan sayuran. Sesekali, dia juga ikut membantu menggarap sawah milik tetangganya dengan pembagian beberapa karung gabah untuk dibawa ke rumah.
Menurut Ariman, ada 8 rumah yang berada di lingkungannya. Perkampungan Ariman terbilang sebagai check point kendaraan yang masuk ke wilayah tersebut. Sebab, tidak semua kendaraan bisa menembus masuk ke ujung perkampungan lantaran kondisinya yang berada di tengah hutan.
"Ke atas masih banyak rumah lagi, kang. Tapi motornya harus yang sudah dimodifikasi, kalau motor biasa mah enggak bakalan bisa masuk. Jalannya ke sana lebih parah, nanjak soalnya," ujar pria beranak satu tersebut.
Karena penasaran, wartawan mencoba terus melanjutkan perjalanan hingga ke ujung kampung. Betul saja, kendaraan biasa tidak akan mampu menembus masuk karena kondisi jalannya yang menanjak penuh bebatuan dan harus melalui dua aliran sungai tanpa jembatan penyebrangan.
"Sok mangga motornya disimpen di sini aja kang, kasian kalau maksa pakai motor gini mah pasti enggak bisa. Jalan kaki juga enggak jauh kok, hitung-hitung olahraga aja kang," ucap Ariman.
Untuk menempuh ke ujung kampung, setidaknya dibutuhkan waktu 1 jam perjalanan. Medan ke sana makin berat karena mayoritas jalan menanjak penuh bebatuan besar yang terlihat sama sekali belum tersentuh oleh pembangunan.
Tiba di ujung kampung, suana pemukiman penduduk sama-sama sepi. Tercatat ada 20 KK yang menghuni kampung itu dan biasanya mereka masih sibuk di kebun dan baru pulang ke rumah pada sore hari.
Karena tidak menemui siapapun, wartawan memutuskan kembali ke rumah Ariman. Perjalanan panjang yang melelahkan, seolah terbayar karena di sepanjang jalan suara aliran sungai tidak pernah berhenti bersautan sembari diiringi merdunya suara binatang di alam terbuka itu.
Tiba di rumahnya,Ariman rupanya sudah menyiapkan beberapa gelap lengkap dengan kopi hitam dan termos berisi air panas. Sembari mempersilahkan duduk, dia kemudian menceritakan kondisi kampungnya yang sudah puluhan tahun tak pernah mendapat perhatian dari pemerintah.
Lihat juga video '150 Prajurit TNI Dikerahkan Membangun Desa Tertinggal':