Banjir melanda Kabupaten Indramayu dan Cirebon, Jawa Barat, pada Februari lalu. Lebih dari 20 kecamatan di Indramayu terdampak. Di Cirebon sebanyak delapan kecamatan yang terdampak.
Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), BPBD, Komisi VIII DPR, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk-Cisanggarung, pegiat lingkungan, pemda dari Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan (Ciayumajakuning), serta Pemprov Jabar menggelar rakor mitigasi bencana di Ciayumajakuning.
Kepala BBWS Cimanuk-Cisanggarung Ismail Widadi mengatakan penanggulangan banjir yang paling efektif adalah membangun bendungan. Ismail mengatakan ada tiga bendungan yang memiliki pengaruh besar untuk meminimalisir terjadinya banjir di Ciayumajakuning, yakni Bendungan Jatigede di Sumedang, Cipanas Sumedang, dan Bendungan Kuningan. Saat ini hanya Bendungan Jatigede yang sudah beroperasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Adanya bendungan cukup efektif. Jatigede itu mampu mengurangi 1.400 meter kubik per detiknya. Bendungan Kuningan juga tentu efektif, semoga tahun ini beroperasi. Termasuk Cipanas," kata Ismail seusai rakor di kawasan Kecamatan Kedawung, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Selasa (16/3/2021).
Ismail mengatakan adanya bendungan di hulu bisa mencegat debit air yang mengalir ke hilir. Dikutip dari laman resmi Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), kppip.go.id menyebutkan, rencananya Bendungan Kuningan beroperasi pada 2020. Namun ditunda dan direncanakan tahun ini. Sementara itu, Bendungan Cipanas Sumedang direncanakan beroperasi pada 2023.
"Bendungan Kuningan itu bisa mengurangi sekitar 260 meter kubik per detik. Sedangkan Bendungan Cipanas bisa mengurangi sekitar 400 meter kubik per detik," ujar Ismail.
Ismail mengatakan saat ini dari 25 sungai yang berada di wilayah BBWS mengalami sedimentasi yang cepat. Hal tersebut diakibatkan beberapa faktor, antara lain adanya bangunan, tanggul longsor dan pembuangan sampah di sungai.
"Kalau mengandalkan aliran sungai dengan mengeruk dan melebarkan, itu kalah cepat dengan sedimentasi. Faktor lain sedimentasi adalah di hulu yang gundul," ucap Ismail.
Ismail menjelaskan sedimentasi dan penyempitan sungai yang mengakibatkan terjadinya limpasan air merupakan faktor umum penyebab banjir. Ia menilai faktor utama banjir yang terjadi di Ciayumajakuning adalah la nina, cuaca ekstrem yang melanda Indonesia.
Selain bendungan, menurut Anggota DPR RI Komisi VIII Selly Andriani Gantina, pemerintah daerah harus mempunyai program dan anggaran untuk melakukan mitigasi bencana. Selly menyayangkan tidak adanya grand design penanggulangan bencana yang dikerjakan bersama, khususnya pemda di Ciayumajakuning.
"Kita akan membuat suatu kesimpulan yang nantinya dijadikan pegangan untuk pemerintah daerah, provinsi, maupun pemerintah pusat. Agar program penanggulangan bencana itu terkoneksi dan mempunyai timeline yang sama," kata Selly.
Selly mengatakan seluruh pihak perlu membuat teknik perencanaan baik jangka pendek, menengah dan panjang. Sehingga, program penanggulangan di daerah tidak menimbulkan bencana baru.
Politikus PDI Perjuangan itu menilai saat ini program penanggulangan bencana yang dilakukan pemerintah daerah sifatnya hanya koordinasi. "Siapapun bupati atau kepala daerahnya, maka dia harus melakukan program yang telah dibuat. Artinya, penanggulangan bencana harus masuk dalam RPJPD maupun RPJMD, rencana kerja SKPD yang nanti akan dijadikan kesepakatan bersama," ucap Selly.
Sementara itu, Deputi Bidang Pencegahan BPNB Lilik Kurniawan mengatakan rakor yang dilakukan sejumlah pihak itu membahas tentang penanganan bencana khususnya hidrometeorologi. Lilik menjelaskan pentingnya koordinasi dari semua pihak, baik pusat maupun daerah.
"Semua pihak, kementerian, provinsi dan daerah. Sehingga harapannya tidak ada lagi banjir dan longsor di Ciayumajakuning. Karena kerugiannya besar. Jadi, pencegahan ini menjadi kunci. Kita akan mencari solusi, khususnya bencana hidrometeorologi, solusi ini akan menjadi rencana aksi," tutur Lilik.