Perselisihan yang terjadi antara masyarakat di Kampung Maroko, Desa Mekarjaya, Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat dengan pengurus Pesantren Tahfidz Quran Alam Maroko belum menunjukkan tanda bakal berakhir.
Konflik antara warga dengan pengurus Ponpes Alam Maroko dimulai ketika warga menuding ada praktik nikah tak resmi yang dilakukan pengurus ponpes dengan seorang warga setempat. Belakangan diketahui jika keduanya merupakan janda dan duda.
Lalu warga juga menilai ajaran dan praktik keagamaan yang diamalkan pengurus serta santri ponpes sesat karena hanya salat tiga kali dalam sehari ditambah kiblat mereka tak umum seperti umat muslim lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak mau permasalahan itu berlarut-larut DPRD Bandung Barat lalu memfasilitasi pelaksanaan mediasi untuk mendamaikan kedua belah pihak.
Berdasarkan hasil mediasi yang dilakukan disepakati beberapa keputusan di antaranya menyerahkan kepengurusan ponpes pada masyarakat setempat. Lalu meminta pimpinan ponpes sebelumnya yakni Dadan Budiman untuk angkat kaki dari pesantren dan kampung tersebut.
Saat ini Ponpes Alam Maroko dipimpin oleh Somantri warga setempat yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan pihak yang hadir saat mediasi. Selain Somantri ada warga lainnya yang juga masuk di dalam kepengurusan pesantren.
"Jadi memang warga yang meminta saya untuk jadi pimpinan ponpes menggantikan Pak Dadang, pimpinan yang sebelumnya. Karena itu kan poin kesepakatan dalam mediasi kemarin," ungkap Somantri saat dihubungi detikcom, Kamis (11/2/2021).
Kendati sudah ada hasil kesepakatan, namun Somantri tak menampik jika masih ada segelintir warga yang melakukan provokasi terhadap warga lainnya agar tetap menolak keberadaan pesantren yang menampung santri-santri yatim piatu dari berbagai daerah itu.
"Memang masih ada yang menolak keberadaan pesantren saya juga enggak tahu kenapa. Padahal sudah ada kesepakatan bahwa warga setempat yang jadi pimpinan dan pengurusnya. Mungkin mereka urusannya personal ke Pak Dadang, bukan secara umum ke pesantrennya," terangnya.
Somantri menegaskan ia bakal tetap memperjuangkan keberadaan ponpes di lingkungan warga tersebut agar bisa diterima. Apalagi ia sendiri merupakan perwakilan dari warga yang sudah membuktikan langsung tak ada hal yang janggal di ponpes tersebut.
"Intinya kita semua harus mengikuti hasil kesepakatan saat mediasi. Dalam mediasi itu juga bahkan sudah dijelaskan tidak ada kesesatan di Ponpes Alam Maroko ini dan itu memang sudah diakui semuanya. Kasihan warga yang masih menolak karena terprovokasi, karena sebetulnya mereka itu mendukung kita," tandasnya.
Sementara itu Ketua Komisi 4 DPRD Bandung Barat Bagja Setiawan yang menjadi fasilitator mediasi antara warga dan pengurus pesantren juga mengungkapkan jika perselisihan antara kedua belah pihak belum selesai.
"MUI dan semuanya diundang, disepakati kalau pengelola menyerahkan pengelolaan ke warga setempat untuk bersinergi dengan tokoh masyarakat dan pihak desa. Pemimpin yang sebelumnya keluar dari kampung. Intinya itu disepakati dan pesantren tetap dilanjutkan. Tapi memang tetap ada warga menolak keberadaan pesantren," kata Bagja.
Bagja juga menjelaskan jika perselisihan yang terjadi hingga timbul resistensi berupa tudingan ponpes tersebut sesat merupakan muara dari buruknya komunikasi personal antara pimpinan ponpes sebelumnya dengan tokoh agama dan warga setempat.
"Intinya ini personal dan bukan kelembagaan. Ini karena komunikasi personal yang kurang bagus. Muncul resistensi sampai akhirnya bermuara ke perselisihan ini," ujarnya.
(mso/mso)