Air mata rakyat Bandung tumpah akibat banjir bandang Sungai Cikapundung pada 25 November 1945. Banjir menelan sekurang-kurangnya 200 korban jiwa dan menghancurkan 500 rumah penduduk di wilayah Lengkong, Kota Bandung.
Anak-anak, perempuan dan lelaki dewasa terbawa hanyut oleh air bah yang datang pada malam hari itu. Kawasan Lengkong, Banceuy, Sasak Gantung dan Balubur seketika berubah menjadi telaga, karena ketinggian air mencapai 3 - 4 meter.
Belum kering air mata rakyat Bandung, desing senjata membabi buta terdengar dari selongsong Tentara Inggris dan Pasukan Gurkha yang mendekati perkampungan pada keesokan malam harinya. Mereka menembaki para pemuda, tentara dan laskar pejuang yang tengah memberikan pertolongan kepada para korban bencana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
75 tahun berlalu sejak tragedi tersebut terjadi, pemerintah pun membangun sebuah tugu berupa batu dan monumen senapan mesin, untuk mengingat para korban perang pertempuran Lengkong. Monumen pengingat sejarah itu terletak di simpang Lengkong Besar - Cikawao.
Waktu berputar cepat, desingan peluru yang keluar dari selongsong senapan mesin kini berubah menjadi deru lalu lalang kendaraan. Pelintas jalan pada umumnya mungkin hirau, tapi Kelompok Anak Rakyat (Lokra) mencoba menghayati kembali peristiwa tersebut.
Pegiat sejarah dari Lokra Gatot Gunawan mengatakan, rakyat sipil yang hendak menyelamatkan diri dari bencana ke dekat Hotel Homann pun tak luput dari sasaran tembak. Rentetan penembakan ini terjadi sejak 21 November, Sekutu ditugaskan membebaskan tawanan dan interniran Belanda di Tuindorp (sekarang Jalan Lengkong Tengah) dan Ciateul, serta melucuti pasukan Jepang.
"Pada awalnya Sekutu datang untuk membebaskan tawanan-tawanan perang di Tuindrop, mereka datang dan melancarkan sejumlah aksi provokasi. Bisa dibayangkan saat rakyat kita sedang berduka dan diberi pertolongan, malah ditembaki. Pejuang tidak terima, tetapi dari beberapa versi lainnya Tentara Inggris tidak tahu antara warga sipil atau pejuang," kata Gatot saat dihubungi detikcom, beberapa waktu lalu.
"Ketika itu Jenderal A.H Nasution memerintahkan agar pasukan dan warga mengungsi ke selatan Bandung, meski begitu perlawanan terus berjalan. Sampai akhirnya pada 2 Desember Tentara Inggris melakukan penyerangan ke wilayah selatan Bandung yang saat itu padat penduduk dengan dalih membebaskan tawanan di Tuindorp," kata Gatot.
Gatot mengatakan kekuatan Tentara Inggris sangat besar kala itu, pertahanan tentara dan pejuang Indonesia dibombardir dari udara oleh Angkatan Udara Inggris, Royal Air Force (RAF). Muntahan meriam dari kanon tank-tank Inggris membuat pejuang Indonesia sulit melawan balik, walau sebagian pejuang berhasil melumpuhkan alutsista Sekutu yang modern.
"Ketika 2 Desember air sudah mulai surut, ketika pejuang ini mengevakuasi korban, tiba-tiba ada serangan mendadak dari jam 6 pagi sampai jam 9 malam. Indonesia diserang duluan, pasukan akhirnya mundur ke Tegalega. Bisa dibayangkan saat itu kondisinya mengerikan sekali karena ceceran bagian tubuh rakyat Bandung terserak," katanya.
Baca juga: Menelusuri Danau yang Hilang di Bandung |
Rangkaian peristiwa ini, ucap Gatot, menjadi pemicu peristiwa Bandung Lautan Api pada 24 Maret 1946. Untuk mengenang pertempuran besar itu, Lokra menyimpan karangan bunga dan membuat teatrikal sederhana di depan tugu dan Sungai Cikapundung pada 2 Desember lalu.
"Tujuan utamanya adalah supaya kita tidak jatuh kepada lubang yang sama, kami berharap perdamaian ini datang untuk kita, anak-anak generasi sekarang akan memastikan bahwa perang tidak akan terjadi lagi," ujar Gatot.