Pulang ke rumah dengan bermandikan lumpur bercampur tanah merah, sudah menjadi santapan sehari-hari bagi Ivan Abdul Rahman Junianto (31) di musim penghujan. Guru honorer yang berbakti di SDN Cibungur Kelas Jauh Cijuhung sejak 13 tahun silam itu harus melewati medan ekstrem untuk menebar ilmu bagi muridnya di tepian Waduk Cirata di Kabupaten Bandung Barat (KBB).
Lokasi Kelas Jauh Cijuhung memang agak terpencil. Jarak dari jalan utama menuju sekolah berjarak kurang lebih delapan kilometer. Jangan dibayangkan jalannya mulus, akses menuju rumah dengan 60 murid itu harus melewati area perkebunan dan hutan dengan kontur yang curam.
Cara lainnya, Kelas Jauh Cijuhung ini bisa diakses dengan menggunakan perahu dari Cibungur. Tetapi, akses transportasi itu jarang digunakan karena biaya ongkos transportasi yang mahal sekitar Rp 25 ribu, sekali jalan. Perahu pun jarang menarik penumpang ke Cijuhung, bila eceng gondok memenuhi muka air.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Awalnya pas pertama saya ke sana, saya berjalan kaki hampir satu jam setengah, naik turun dua gunung. Kemudian kalau naik motor juga pada awal-awalnya satu jam lebih, motor juga harus diganti dengan ban trail. Jalan perkebunan batu dan tanah, pernah sampai sekolah itu dua jam," ujar Ivan saat dihubungi, Rabu (25/11/2020).
Jatuh dari sepeda motor, karena jalanan berlumpur dan licin menjadi tantangan tersendiri yang harus dilewati Ivan. Beruntung, selama belasan tahun berkiprah, ia tak pernah mengalami cedera yang parah.
"Sampai sekolah boro-boro pengen ngajar kadang istirahat dulu, kadang langsung. Tapi ke sini-sini mulai terbiasa. Kalau cedera parah belum pernah, paling sakit pinggang," lanjut Ivan.
Di Cijuhung sendiri, rata-rata murid yang bersekolah di sana adalah anak-anak dari pegawai perkebunan. Rumah warga pun masih jarang dan lokasinya berderet di sepanjang danau Waduk Cirata. Para murid harus melewati undakan bukit secara bersamaan, atau menaiki perahu dan rakit yang dibayar perbulan.
"Kebanyakan anak dari pekerja perkebunan, atau pendatang dari Cianjur. Di Cijuhung ini, sekolah hanya pagi saja, kalau dipaksakan sampai sore kasihan anak-anak, pulangnya jauh," ucap Ivan.
Bicara soal fasilitas, di sekolah tersebut hanya ada satu laptop yang dimanfaatkan oleh 60 murid untuk menggelar mata pelajaran komputer. Di sana, Ivan dan dua orang guru lainnya yang masing-masing berstatus honorer dan PNS, juga mengajari sekitar sekitar 30 murid SMP.
"Jadinya kita dituntut untuk bisa segala bisa, saya dari Bahasa Indonesia, mengajar juga bahasa Inggris dan lainnya," ucap ayah beranak dua itu.
Di tengah keterbatasan itu, Ivan mengaku bertahan karena melihat semangat belajar dari murid-muridnya.
"Motivasi yang buat saya bertahan, ialah siswa di sana, jd kalau pun ketika hujan atau apapun mereka tetap semangat. Bahkan sekarang ada SMP, alhamdulillah jadi anak-anak bisa melanjutkan pendidikan," katanya.
Jalan Kaki hingga Naik Motor Trail
Awalnya, lulusan program studi Bahasa Indonesia dari Universitas Bale Bandung (Unibba) itu berjalan kaki untuk mencapai sekolah. Namun, setelah waktu berselang ia memanfaatkan sepeda motor bebek yang diberikan ayahnya.
"Kalau naik motor bebek, kadang ban tidak bisa muter karena tertutup oleh lumpur tebal. Seringnya jatuh, makanya sepeda motor itu saya modifikasi ke dalam bentuk motor trail," katanya.
Ivan memiliki mimpi untuk memiliki sepeda motor trail sungguhan untuk melewati medan ekstrem. Namun, apa daya penghasilannya yang berkisar Rp 500 ribu per bulan tak cukup membeli mimpinya itu. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari istrinya juga bekerja sebagai pengajar di sekolah agama dan keduanya menyambi sebagai pedagang batagor dan gorengan di kediamannya di Kampung Ciwaru, Desa Bojongmekar.
"Baru tahun kemarin ada dari komunitas Ubbar, akhirnya menggalang dana lewat Kitabisa, tapi uangnya hanya terkumpul satu juta. Alhamdulillah ada dari komunitas Trabas yang memberikan saya sepeda motor trail, jadi lebih mudah," katanya.
Meski demikian, tantangan yang harus dihadapi Ivan tak berakhir di sana. Ia juga harus memperhitungkan biaya bensin, dan perawatan sepeda motor dari gajinya yang hanya setengah juta rupiah itu. "Pernah kehabisan bensin juga saat di kebun karet," katanya.
Sekolah di Masa Pandemi
Pandemi COVID-19 diakuinya tak menghalangi kegiatan belajar mengajar (KBM) di SDN Cijuhung. Karena fasilitas yang minim, ditambah sinyal internet yang tak memadai, Ivan dan dua orang rekannya mengunjungi kediaman murid untuk memberikan materi secara langsung.
"Awalnya selama 6 hari online, seblumnya 3 kali berkunjung, kemudian dikurangi seminggu dua kali, terus sekali kunjung ke rumah siswa dikumpulin 5-6 orang. Dikasih tugas. Sekarang kan enggak boleh pisan guru kunjung, sdh ada peringatan, karena kemarin Cipeundeuy zona merah," katanya.
Tak jarang, ucap Ivan, anak-anak di Cijuhung harus belajar daring di dekat listrik. Hal itu dipercaya bisa menguatkan sinyal internet, untuk belajar daring. "Kadang anak kalau di Cijuhung misal belajar di satu titik, di bawah tiang listrik ngumpulnya, karena di situ sinyalnya bagus, sinyalnya," katanya.
Bertepatan dengan Hari Guru Nasional, Ivan mengharapkan pemerintah untuk lebih memperhatikan nasib guru. Khususnya guru honorer yang sudah mengabdi belasan hingga puluhan tahun.
"Kalau secara pribadi pemerintah itu ada perhatian lebih atau khusus kepada guru honorer, apalagi kepada guru yang kategori dua yang sudah lama, minimal mereka diangkat (PNS). Kepada guru lain, kesejahteraannya lebih diperhatikan," katanya.