Kisah Getir Dukun Beranak yang Jadi Profesi Warisan Nenek Moyang

Kisah Getir Dukun Beranak yang Jadi Profesi Warisan Nenek Moyang

Muhamad Rizal - detikNews
Senin, 19 Okt 2020 16:06 WIB
Profesi dukun beranak yang nyaris hilang ditelan zaman
Profesi dukun beranak yang nyaris hilang ditelan zaman (Foto: Muhamad Rizal)
Sumedang -

Kehadiran dukun beranak atau paraji di zaman modern seperti ini, sangat jarang bisa ditemui di sejumlah kota dan daerah di Indonesia. Bahkan, jika pun masih ada, kebaradaannya sekarang hanya sebagai mitra bidan.

Melahirkan secara tradisional ini sempat menjadi pilihan di sejumlah daerah karena pertimbangan soal cara bersalin yang dinilai masih kuno. Maka keberadaan paraji saat ini sudah sangat sulit ditemui.

Seperti halnya yang dirasakan oleh Empat Fatimah (53) paraji asal Desa Margajaya, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, mengaku dirinya saat ini hanya sekedar membantu atau menjadi asisten Bidan saja.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sekarang membantu bidan, kaya mijit bayi, mijit ibunya (sesudah melahirkan), mandiin bayi baru lahir sama kotoran-kotorannya," kata Empat saat ditemui di rumahnya, Senin (19/10/2020).

Ia menuturkan sebelum membantu bidan dirinya memang selalu menerima panggilan untuk menangani ibu yang akan melahirkan. Namun saat ini dirinya sudah tidak menerima panggilan tersebut karena orang-orang banyak memilih bidan ketimbang paraji.

ADVERTISEMENT

"Dulu lumayan kalo ada yang mau melahirkan mendadak, suka ada panggilan, kalo sekarang kan harus sama bidan jadi saya cuman membantu saja. Makannya sekarang jarang ada yang manggil," katanya.

Empat menuturkan, jika pun ada panggilan dirinya hanya diminta untuk memijit dan mengurus bayi yang baru lahir saja. "Paling sebulan satu sampai dua (pasien) yang minta, itu pun kebanyakan yang kenal," tutur Empat dengan ratapan dengan penuh harapan.

Selain berperan membantu bidan, Empat juga menerima panggilan ke rumah-rumah untuk memijat bayi dan ibunya setelah lahir, namun untuk panggilan tersebut dirinya tidak memasang tarif untuk jasa panggilan tersebut.

"Dibayar seridhonya, bayi yang berusia seminggu biasanya ibu suka dikasih Rp 15 ribu, kalau bayinya sudah berusia lebih dari satu minggu hingga 40 hari persalinan suka dikasih Rp 40 ribu. kadang ada yang cuman ngasih pulsa saja. Soalnya ibu enggak ngehargain, jadi segimana di kasihnya aja (memasang tarif)," ucap Empat sambil tersenyum ikhlas.

Empat menyebutkan, peran dukun beranak saat ini sudah jarang sekali dibutuhkan untuk menangani ibu yang akan melahirkan. Saat pada tahun 1990 peran dukun beranak masih banyak dibutuhkan.

"Yah sekarang sepi, beda dengan dulu, kadang dua bulan tidak ada panggilan sama sekali. Kalo dibandingkan dengan dulu, paling sepi juga bisa sampai 4 kali panggilan sebulan," ucapnya.

Maka dari itu, untuk dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari, dirinya harus mencari penghasilan lain karena perannya sebagai dukun beranak saat ini sudah mulai pudar termakan zaman.

"Kalo ada yang manggil saya samperin, kalo enggak ya saya kerja di sawah. Cuman ngandelin dari hasil itu (paraji) kan enggak setiap hari ada," katanya.

Terlebih, kondisi saat ini keadaan serba sulit akibat pandemi COVID-19, ditambah sang suami, Pepi Ruhaepi (56) yang berprofesi sebagai pedagang hewan ternak di Pasar Hewan Tanjungsari juga turut mengalami penurunan pendapatan.

"Begitu pandemi COVID-19, pendapatan suami juga ikut turun drastis," ujar Empat.

Profesi Warisan Nenek Moyang

Empat mengaku menjadi dukun beranak karena mengikuti jejak nenek moyangnya terdahulu, pasalnya saat itu nenek dan ibunya merupakan paraji.

"Nenek sama ibu saya dulunya memang paraji (dukun beranak), jadi sudah turun temurun dari uyut," tutur Empat.

Sekitar tahun 1990, Empat sudah menjadi dukun beranak, profesi ini ia tekuni sudah lama sejak usia 17 tahun. Saat itu dirinya masih menjadi asisten ibunya.

"Dulu awalnya kalo ada yang mau melahirkan, emak (ibu) nyuruh saya buat ikut biar tau gimana cara menangani orang yang akan melahirkan," tuturnya.

Ia menjelaskan selain belajar praktek dirinya juga dibekali buku yang berisikan tata cara dukun beranak menangani persalinan dan juga sejumlah alat medis tradisional.

"Belajar juga dari buku juga, yah gimana aja belajar kaya kebidanan tapi ini diajarin sama emak. Terus di kasih juga alat-alat buat bersalin kaya timbangan, alat pendengar detak jantung (phondoskop), sama gunting, sebetulnya masih banyak tapi sudah pada hilang," kata Empat sambil memperlihatkan buku dukun beranak.

Setelah dibekali ilmu tersebut, Empat menuturkan jika dirinya sudah cukup bisa dan siap untuk melakukan praktek sendiri, sang ibu langsung melepaskan Empat untuk terjun langsung menangani orang yang akan bersalin.

Dari sejak saat itulah perannya mulai dibutuhkan oleh banyak orang karena saat itu dirinya dinilai oleh sang ibu sudah cukup mahir dalam menangani orang yang akan melahirkan.

"Waktu dulu paraji itu masih banyak dibutuhkan, kalo ada yang mau melahirkan pasti mau sama emak (Empat), kalo sekarang kan harus sama bidan, jadi peran paraji itu sekedar membantu proses bersalinnya saja," kata Empat.

Halaman 2 dari 2
(mud/mud)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads