Unjuk rasa penolakan Omnibus Law berakhir dengan kericuhan di depan Gedung DPRD Jawa Barat dalam dua hari berturut-turut, 6 dan 7 Oktober 2020. Anggota DPRD Jabar Ihsanudin mengimbau agar penyampaian aspirasi disampaikan tidak lewat cara anarkis.
"Saya berharap DPRD se-Indonesia nanti bersikap. Untuk menyikapi UU yang baru saja diketok ini. Dengan sikap kritis dan elegan. Tidak boleh anarkis," ujar Ihsanudin saat ditemui di Gedung DPRD Jabar, Kamis (8/10/2020).
Ia memandang UU Cipta Kerja yang baru diputuskan pada Senin (5/10) malam hanya menguntungkan para pemilik modal dan tak seimbang dalam mendukung kesejahteraan rakyat. "Hanya kapitalis, konglomerat, dan investor yang diuntungkan. Sebaliknya merugikan dan menindas kepentingan dan nasib buruh," ujar anggota dari Fraksi Gerindra itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, secara institusional DPRD Jabar harus bersikap tegas dalam menilai UU Cipta Kerja yang kontroversial. "Mari kita cari jalan keluar yang elegan dan seimbang. Kepentingan buruh dan rakyat kecil harus kita jamin. Terutama yang menyangkut kesejahteraan, keamanan, kesehatan dan pendidikan," ujar Ihsanudin.
Ia pun menyorot UU Cipta Kerja ini seolah perlahan mengonversi lembaga pendidikan selayaknya perusahaan. Hal itu tercantum dalam Pasal 65 klaster pendidikan.
"Kami akan sampaikan aspirasi penolakan UU Cipta Kerja ini. Kita lakukan judicial review. Harus meminta ditinjau ulang tapi dengan cara elegan, bukan dengan anarkis. Kami semua (Anggota DPRD Provinsi Jabar) harus bersuara demi kemajuan dan kesejahteraan buruh. Pemerintah dan pengusaha tidak boleh mengorbankan rakyat kecil demi kepentingan perut sendiri," tutur Ihsanudin.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan, UUD 1945 Pasal 33 tentang ekonomi kekeluargaan dan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat dan poin lainnya masih jauh dari pelaksanaannya. "Tapi tidak pernah diimplementasikan bahwa kekayaan Indonesia ini untuk seluruh rakyat Indonesia. Apakah itu sudah diimplementasikan? Sama sekali tidak. Bahkan yang kaya semakin kaya dan yang miskin kian miskin," ucapnya.
Terlebih, sambungnya, di era keterbukaan seperti sekarang, nasib rakyat kecil semakin tertindas oleh kapitalisme. Ihsanudin menilai pemerintah pusat dan anggota DPR RI hanya memanfaatkan rakyat untuk kepentingan suara. "Kalau sedang Pilkada, Pileg, dan Pilpres suara rakyat dibutuhkan. Tapi kalau sudah selesai, rakyat ditinggal. UUD 1945 Pasal 33 itu hanya tulisan di atas kertas tapi tidak pernah diimplementasikan," kata Ihsanudin.