Sekda-Kepala Dinas Ramaikan Pilkada Serantak Jabar, Rawan Mobilisasi PNS

Sekda-Kepala Dinas Ramaikan Pilkada Serantak Jabar, Rawan Mobilisasi PNS

Ismet Selamet - detikNews
Jumat, 04 Sep 2020 14:00 WIB
Ilustrasi Fokus Nasib Pilkada Langsung (Andhika Akbaransyah)
Foto: Ilustrasi (Andhika Akbaransyah)
Cianjur -

Sejumlah pejabat mulai dari sekretaris daerah hingga kepala dinas ikut meramaikan Pilkada Serentak 2020 di Jawa Barat. Majunya para pejabat daerah tersebut tentu membuat kekhawatiran adanya mobilisasi ASN saat pelaksanaan pesta demokrasi tersebut.

Ada beberapa daerah di Jawa Barat yang memiliki calon bupati-wakil bupati dari PNS. Di Cianjur misalnya, Mantan Sekretaris Daerah yang kini menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan maju sebagai Calon Bupati didampingi Wawan Setiawan dengan diusung Partai Gerindra dan Demokrat.

Di Tasikmalaya ada dua calon Bupati dari PNS, yakni mantan Kepala Bappeda Iwan Saputra yang didampingi Iip Miftahul dengan diusung Partai Golkar, PKB, PKS, dan PAN serta mantan staf di Setda Kabupaten Tasikmalaya Cep Zam-zam dengan pendamping Fadhil Karsoma yang maju dari jalur perseorangan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk Kabupaten Sukabumi, Marwan Hamami yang merupakan Bupati Sukabumi bakal kembali maju dengan didampingi Iyos Soemantri yang merupakan mantan Sekda Kabupaten Sukabumi.

Selain itu, ada juga Kepala Bapenda Kabupaten Bandung Usman Sayogi yang maju sebagai calon wakil bupati mendampingi istri petahana Nia Kurnia yang maju sebagai calon bupati.

ADVERTISEMENT

Pengamat Politik Unpad Firman Manan mengatakan ada dua hal dasar yang menimbulkan fenomena majunya para PNS di Pilkada Serentak. Pertama terkait pengalaman para pejabat publik dan masalah kaderisasi di partai politik.

"Calon yang sebelumnya PNS apalagi setingkat Sekda dinilai memiliki pengalaman dari segi pemerintahan. Selain itu Parpol juga memiliki masalah dengan kaderisasi, bukannya tidak ada tapi masih ada kelemahan, sehingga yang ada dinilai tidak siap atau belum layak untuk maju," ucap Firman kepada detikcom via telepon seluler, Jumat (4/9/2020).

Majunya PNS dalam kontestasi Pilkada, menurut Firman menimbulkan risiko terjadinya mobilisasi ASN yang berdasarkan Undang-undang Pilkada dilarang. Oleh karena itu pengawasan dari internal dan eksternal perlu ditingkatkan, apalagi jika di daerah terdapat calon petahana.

"Dari eksternal sudah tentu Bawaslu ataupun dari internal pemerintah daerahnya harus melakukan pengawasan ekstra. Khusus di internal, Kepala Daerah dan Sekda memiliki peran penting untuk mencegah mobilisasi dan keterlibatan ASN dalam politik praktis. Jika kepala daerah dan Sekdanya maju, maka menjadi tugas dari Plt atau penjabat sementara," tuturnya.

"Selain itu perlu juga peran serta masyarakat. Jika menemukan adanya pelanggaran terutama mobilisasi ASN, masyarakat diimbau untuk berani melaporkannya ke Bawaslu," tambahnya.

Senada, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurniasyah menilai dipilihnya PNS sebagai calon bupati ataupun wakil bupati karena miliki modal mulai dari jaringan pegawai apalagi PNS yang sebelumnya menjabat posisi strategis. Tetapi jaringan ini yang berpotensi disalahgunakan karena memungkinkan untuk diarahkan memilih.

Keberpihakan atau mobilisasi PNS itupun berkaitan dengan posisi atau jabatan pasca Pilkada, sebab yang menang berpotensi menempatkan pendukunganya di jabatan strategis di kepemimpinan yang baru.

"Bisa saja, bahkan catatan IPO di Pilkada 2018, pasca pemilihan di banyak daerah terjadi perombakan struktur pegawai, dan ini cenderung mengarah pada kubu-kubu saat Pilkada, mereka yang menang akan menentukan posisi-posisi strategis," ungkapnya.

Maka dari itu diperlukan adalah penguatan pengawasan yang jeli dan tegas terhadap segala bentuk aktifitas politik ASN. "Sejauh ini sanksi untuk aktifitas politis ASN masih bias, sehingga menyulitkan pengawas Pemilu untuk menjaga netralitas tersebut," paparnya.

Tetapi Pengamat Politik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Karim Suryadi memiliki pandangan berbeda. Menurutnya PNS yang maju di Pilkada serentak tidak memiliki kekuatan besar untuk mobilisasi PNS di lingkungan Pemda.

Dia menyebutkan kerawanan lebih besar muncul ketika ada calon dari petahana atau keluarga petahana. Sebab jika calon petahana hanya cuti sehingga bisa kembali memagang kekuasaan setelah Pilkada, sedangkan calon dari keluarga petahana memungkinkan kepala dearahnya melakukan ajakan dan mengarahkan untuk memilih keluarganya.

"Kalau PNS kan harus mundur, sehingga kecil kemungkinannya melakukan mobilisasi PNS meskipun sebelumnya memiliki jabatan strategis. Yang harus lebih besar risikonya itu petahana dan keluarga petahana yang maju, memungkinkan terjadi penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara di sana selain potensi mobilisasi PNS," ujarnya.

Halaman 2 dari 2
(mso/mso)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads