Dana segar sebesar Rp 600 ribu dikucurkan pemerintah pusat kepada pekerja non-PNS dan BUMN yang bergaji di bawah Rp 5 juta per bulan. Namun, syaratnya pekerja tersebut harus terdaftar sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJSTK).
Ketua Kesatuan Honorer Indonesia (KHI) Iman Supriatna menilai bantuan yang sedianya bertujuan baik itu, berpotensi menimbulkan kesenjangan, khususnya bagi guru honorer. Menurutnya, hingga saat ini masih banyak guru honorer yang berpenghasilan rendah dan tak didaftarkan sekolah tempat bekerjanya sebagai peserta BPJSTK.
"Kebijakan ini memang baik dan positif, tetapi kalau pemerintah ingin memberikan bantuan tidak perlu ada persyaratan masuk seperti jadi peserta BPJSTK. Ini bisa jadi persoalan baru, karena masuk BPJSTK juga harus bayar iurannya. Jangan sampai kita mau dapat bantuan harus mengeluarkan uang, ini kebijakannya kurang elok," ujar Iman saat dihubungi detikcom, Kamis (27/8/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, guru honorer juga berperan penting sebagai garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, sayang nasibnya kerap tak terperhatikan. "Kami berharap kepada pemerintah pusat dan daerah kalau mau memberi bantuan cukup dengan KTP, nah bagi para honorer bisa adengan memperlihatkan SK pertama mengajar atau surat pernyataan dari dinas," katanya.
"Tapi kalau harus menjadi peserta BPJSK ini, yang membuat honorer gelisah, ada yang laporan ke saya, katanya bagaimana pak Iman, kita mau ada bantuan tapi kita harus masuk dulu jadi peserta BPJSTK. Untuk itu kita harus berpikir lagi untuk biaya sehari-hari aja masih sulit, ditambah harus beli kuota, pulsa, artinya ini ironi. Kalau bantuan tidak usah memberatkan persyaratannya," ucapnya.
"Harapan kami kepada pemerintah pusat dan daerah, bagi para honorer jangan terlalu banyak persyaratan yang memberatkan, cukup KTP atau surat keterangan mengajar. di Jabar sendiri yang sudah memilik NUPTK itu sekitar 69 ribu tahun 2018, nah yang belum punya NUPTK itu jumlahnya bisa ratusan ribu bahkan jutaan," imbuhnya.
Dalam mencari guru honorer yang berpenghasilan di bawah Rp 5 juta, kata Iman, itu bukanlah yang sulit dilakukan. Toh, di sejumlah daerah di Jabar masih bisa ditemukan guru honorer yang digaji Rp 100 ribu per bulan
"Pendapatan guru honorer ini bervariasi ya, kalau di Kota Bandung mungkin sudah luar biasa. Tapi teman-teman kita yang di luar Bandung? kita menuntut agar berkeadilan. Kan memang ada Permendikbud Nomor 19 tahun 2020, sudah jelas bahwa dalam kondisi seperti ini ada dana BOS yang bisa digunakan untuk para honorer," katanya.
"Ketika kami beraudiensi ke daerah pun ada laporan kalau masih ada guru honorer yang digaji Rp 50 ribu per bulan, zaman begini itu bisa dipakai itu apa ?," pungkasnya.
(yum/mud)