Tim alumni Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) angkatan 1994 mengkaji opsi karantina wilayah sebagai salah satu aksi respons pemutusan rantai penularan COVID-19. Apa hasilnya?
Dalam kajian tersebut digunakan data kasus yang dikeluarkan Kemenkes di Indonesia per 29 Maret 2020 dengan jumlah 1.285 kasus dan 114 kematian dan literatur ilmiah yang sudah dipublikasikan. Dosen Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Unpad Bony Wiem Lestari menjelaskan semua orang berpotensi untuk terinfeksi COVID-19.
"Pembelajaran dari China yang dilaporkan oleh WHO menyimpulkan bahwa semua orang rentan terinfeksi (susceptible) akan virus ini, maka dibutuhkan kebijakan yang sangat agresif," kata Bony saat dihubungi detikcom pada Selasa (31/3/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bony menjelaskan formula detect-trace-test dengan karantina wilayah direkomendasikan untuk wilayah yang memiliki jumlah kasus banyak, baik itu kasus sporadis, terklaster, maupun penularan komunitas.
"Untuk memutus rantai penularan COVID ini, kita perlu mengenali tahapan epideminya, yaitu wilayah tidak ada kasus, wilayah dengan kasus sporadis, wilayah dengan kasus terklaster, dan wilayah dengan penularan komunitas," ujarnya.
Lebih lanjut, karantina wilayah wajib diikuti dengan strategi berupa tes yang agresif pada kasus terduga penderita dan riwayat kontaknya untuk memutus rantai penularan. "Karantina ini tentu tidak mudah karena tidak hanya melibatkan sektor kesehatan, tapi juga sektor lainnya untuk menjamin ketersediaan logistik bagi masyarakat selama itu dijalankan." katanya.
Ketersediaan logistik yang dimaksud meliputi bahan pangan, obat-obatan, bahan bakar, dan lain-lain. Jika dipilih menjadi satu opsi oleh pemprov atau kota/kabupaten dengan izin pemerintah pusat, kata dia, harus dihitung kesiapan seluruh aspeknya.
"Agar tidak berdampak buruk dan ekstrem terhadap kesejahteraan masyarakat dalam berbagai perspektifnya," tuturnya.
Bony melakukan kajian bersama rekannya yang berasal dari multidisiplin kesehatan, seperti public health profesional Dr Ridwan Jack Gustiana, birokrat kesehatan Dr Hendro, dan dokter spesialis anak Dr Irman Permana.
Selain peninjauan karantina wilayah, melalui pendekatan sektor kesehatan, juga ditemukan kapasitas sistem kesehatan perlu ditingkatkan untuk menurunkan angka kematian akibat COVID-19.
"Mengingat tenaga kesehatan adalah garda terdepan dalam pelayanan yang berpotensi kontak langsung dengan penderita, perlu dipastikan perlindungannya dengan menggunakan perangkat proteksi diri," ujar Bony.
"Diperkirakan satu tenaga kesehatan dibutuhkan untuk merawat 30 penderita terutama dengan gejala pneumonia dan penyakit kritis. Jika dianggap masih kurang, dapat dipikirkan untuk merekrut relawan bidang kesehatan melalui organisasi profesi tenaga kesehatan disertai pengaturan wewenang klinis yang sesuai. Jika dianggap masih kurang, dapat dipikirkan untuk meminta bantuan ke luar negeri (China dan Korsel misalnya) karena dengan rasio 4 dokter per 10 ribu penduduk dan distribusi tidak merata, beberapa daerah akan sangat sulit menangani wabah ini," ujarnya.
Pengkajian yang dilakukan selama satu pekan ini menggunakan literatur yang bersumber dari World Health Organization (WHO), euro surveillance, CDC (Centers for Disease Control and Prevention), dan publikasi ilmiah yang kemudian diintisarikan dalam kajian ini. Pihaknya akan terus memperbarui sesuai dengan perkembangan kasus Coronavirus di Indonesia.