Pangandaran - Kesenian ronggeng gunung merupakan seni tradisional khas Pangandaran. Pemerintah Kabupaten Pangandaran, pelaku seni dan masyarakat terus berupaya melestarikan, mengembangkan dan menggali sejarah dari seni tari tradisional ini. Denyut aktivitas seni ronggeng gunung ini masih bertahan. Jika penasaran ingin menyaksikan dan ikut menari bersama ronggeng gunung, bisa datang setiap malam minggu di Pondok Seni Pangandaran.
Namun siapa sangka, kesenian ronggeng gunung ini rupanya pernah dijadikan sarana untuk melakukan pembunuhan berencana. Bahkan semua rangkaian pertunjukan menjadi skenario untuk menghabisi nyawa korban. Kisah berdarah itu menjadi bagian dari asal-usul lahirnya ronggeng gunung.
Cerita berawal pada masa kerajaan Galuh. Seorang pria bernama Anggalarang mendirikan kerajaan Pananjung. Pananjung sendiri saat ini merupakan nama Desa di Kecamatan Pangandaran. Kawasan pantai barat, pantai timur dan cagar alam itu masuk wilayah Desa Pananjung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun kerajaan pesisir yang tentu saja kaya potensi bahari itu rupanya menjadi incaran kawanan bajak laut. Saat kerajaan mulai berkembang, kawanan perompak yang dipimpin Kalasamudra datang menyerang. Padahal kerajaan Pananjung belum memiliki angkatan perang yang memadai. Tak ayal kerajaan itu porak poranda diserang dan dijarah bajak laut. Anggalarang tewas di tangan Kalasamudra.
Beruntung saat itu istri Anggalarang, yakni Dewi Samboja berhasil meloloskan diri dari serangan bajak laut. Dari pesisir pantai dia melarikan diri ke perbukitan.
Dalam pelariannya, Dewi Samboja bertemu dengan masyarakat gunung dan menyaksikan sebuah ritual persembahan untuk Dewi Sri berbentuk tarian dan sesajen.
Simak Video "Sakit Hati Korban Hamili Istrinya Jadi Motif Pembunuhan di Gresik"
"Jadi cikal bakal ronggeng gunung itu sebenarnya sebuah ritual persembahan. Bentuknya hanya tarian, nyanyian dan sesajen. Tanpa musik," kata Aceng Hasim, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Pangandaran, Kamis (9/1/2020).
Dengan kreasi dan daya ciptanya, Dewi Samboja lalu menambahkan musik pada tarian itu. Setelah melewati beragam proses, Dewi Samboja akhirnya menjadi ronggeng. Dia menari dan bernyanyi diiringi musik sederhana dan menggelar pertunjukan ke luar daerah. Karena mereka berasal dari gunung, namun kerap manggung ke daerah pesisir dan pusat kerajaan Galuh, para bangsawan dan masyarakat akhirnya menamai grup ronggeng mereka ronggeng gunung.
Kesenian ini lalu berkembang menjadi sarana hiburan bagi masyarakat. Seiring ketenarannya, Dewi Samboja mengganti namanya menjadi Dewi Rengganis. Satu hal yang menjadi ciri khas ronggeng gunung, yaitu lagu-lagu yang dibawakannya selalu bercerita tentang kesedihan, kerinduan dan luka mendalam akibat kematian orang terkasih.
Kedalaman lirik pilu yang dilantunkan Dewi Rengganis kerap membuatnya menari sambil berlinang air mata. Lama-lama kesedihan yang menggumpal berubah menjadi sebongkah dendam.
Hingga suatu ketika kawanan perompak pimpinan Kalasamudra kembali bersandar di pantai Pangandaran. Saat perahu bersandar ke daratan bajak laut biasanya akan foya-foya menjarah hasil tani dan menggelar pesta. Kalasamudra duduk menyaksikan ronggeng gunung.
Hari pembalasan telah tiba. Dewi Rengganis lalu menyusun rencana pembunuhan terhadap Kalasamudra yang dikemas dalam pertunjukannya. Meliuk-liuk dia menari di tengah lingkaran besar penari pengiring dan penonton yang ikut larut mengikuti gerakan. Penari pengiring sengaja menutup wajah dan pisau yang terselip di pinggang dengan kain sarung.
Dewi Rengganis memberikan komando berupa kode-kode dalam lantunan kawih atau nyanyian. Kalasamudra yang menjadi target rupanya masuk perangkap. Dia tergugah dari tempat duduk lalu ikut menari dan masuk dalam lingkaran tarian massal itu.
Dalam sebuah kesempatan, Kalasamudra yang tengah terlena oleh suasana ditikam oleh Dewi Rengganis dan penari pengiringnya. Dendam terbalaskan, Kalasamudra tewas bersimbah darah dalam riuh pertunjukan.
"Memang ada beberapa versi mengenai asal usul seni ronggeng gunung. Tapi yang populer adalah kisah ini. Apalagi sejumlah peneliti dan tokoh budaya banyak yang sepakat dengan versi tersebut," kata Aceng.
Dia mengaku tak alergi dengan kontroversi mengenai kisah atau cerita rakyat mengenai sebuah seni atau budaya. Perbedaan pendapat justru menimbulkan dinamika dan memperkaya kecintaan terhadap seni budaya tradisional.
"Ini kan cerita rakyat. Bukan sejarah yang harus merujuk kepada dimensi ruang, waktu, pelaku dan lainnya," papar Aceng. Apalagi budaya Sunda itu mayoritas lahir dari budaya tutur atau cerita, bukan budaya tulisan seperti kerajaan lain di tanah air.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini