Kisah Saepudin bermula pada 1994. Saat itu ia mengajar di SDN Mekarjaya, Kecamatan Bojongpicung. Dua tahun mengajar, gejala gangguan mata mulai ia rasakan pada 1997. Tekadnya yang kuat tidak menyurutkan keinginan mengajar walau hanya bergaji Rp 100 ribu per bulan.
"Profesi guru itu sangat mulia, ditambah memang sudah menjadi cita-cita saya sejak kecil. Walau gaji hanya Rp 100 ribu, saya cukup-cukupkan. Untuk menambal kebutuhan dapur, saya berjualan balon," tutur Saepudin sambil jari tangannya menggenggam erat sandaran kursi roda saat berbincang dengan detikcom, Jumat (29/11/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya tidak malu, kadang bertemu murid saat berjualan. Mereka kaget pak gurunya jualan balon. Tapi nggak ada masalah, saya tidak berkecil hati karena niatnya untuk tambal gaji bulanan," ujarnya.
Strok mulai dirasakan Saepudin pada 2012. Ia total berhenti mengajar pada 2017. "Tahun 2012 saya masih mengajar. Saat itu mulai terasa (strok). Saat itu pihak sekolah sudah meminta beristirahat hingga sembuh. Saat itu gaji saya bagi dua karena dibantu teman seprofesi untuk mengisi rapor dan memberi nilai," ucap Saepudin.
Tekanan juga terus datang. Sang istri yang memberinya dua orang anak pergi menceraikannya. Saepudin hanya mendapat surat dari Pengadilan Agama (PA) karena digugat cerai oleh sang istri. Saat itu kesehatannya turun drastis. Dia pun berhenti mengajar.
![]() |
Tetapi impiannya itu tak pernah terwujud. Tak pernah ada kabar lebih lanjut dirinya lolos, hanya nomor pendaftaran yang ia terima di awal mendaftar.
"Kalau dari pemerintah sama sekali tidak ada bantuan, hanya memang dari teman-teman seprofesi yang masih rutin menjenguk. Serta ada juga dari forum peduli guru. Meskipun tak seberapa, tapi itu sangat membantu untuk saya dan anak-anak," ujar Saepudin.
Halaman 3 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini