Sehari-hari, Isep bekerja membuat bingkai pintu di bengkel kayu milik tetangganya. Ia menyerut kayu, mengampelas hingga membuat lubang purus di bilah kayu yang tingginya bisa mencapai dua meter.
Lokasi bengkel kayu tersebut hanya berjarak sekitar 20 meter dari kediamannya di Kampung Kepuh RT 3 RW 26, Desa Padalarang, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat (KBB).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Teknik membuat bingkai kayu, ia dapatkan secara otodidak. "Saya hanya mengerjakan pekerjaan yang di bawah saja, saat merangkai biasanya dibantu oleh pemilik, karena karyawannya hanya saya saja," ujarnya.
![]() |
Sebelum merambah dunia perkayuan, Isep bekerja sebagai buruh kasar di pabrik kerajinan batu. Salah satu buah tangannya, yakni bola batu yang dipasang di trotoar-trotoar Kota Bandung era Ridwan Kamil yang saat itu menjabat wali kota Bandung.
"Dulu di pabrik itu membuat kerajinan batu yang dikirim sampai ke Belanda, baru pada tahun 2007 mulai membuat sarang burung," ucapnya.
Usaha membuat sarang burung ini, lumayan membuahkan hasil meski dengan peralatan seadanya. Namun, usaha ini tak berjalan lama karena keterbatasan alat dan pesaing yang membanting harga.
"Saya terkadang membuat layang-layang juga, namun belakangan jarang membuat lagi karena pulang dari bengkel kayu sore hari," kata Isep.
Ingin Berdayakan Difabel Lainnya
Di usianya yang hampir setengah abad, Isep memendam mimpi untuk kembali membangun usaha sarang burung. Kali ini, ia ingin memberdayakan difabel lainnya.
"Saya ingin punya mesin pembuat jari-jari kayu dan gergaji mesin untuk memotong kayu ukiran, sebelumnya saya usaha dengan peralatan seadanya, pernah bikin bor dari dinamo," tuturnya.
Soal pemasaran, ujar Isep, ia mengklaim telah memiliki pasar. "Inginnya saya berkeliling menjajakan produk kerajinan dari difabel, sekaligus membuat difabel berdaya," kata Isep. (bbn/bbn)