Proses islah berlangsung di gedung Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Tasikmalaya, Selasa (23/4/2019) petang. Selain dihadiri dua keluarga korban, momen perdamaian ini disaksikan pihak Pondok Pesantren (Ponpes) Miftahul Huda Alfaqih, KPAID, MUI, Kementerian Agama, dan Pemkab Tasikmalaya.
"Islah ditempuh keluarga dengan syarat oknum guru ngaji minta maaf," ujar Ketua KPAID Kabupaten Tasikmalaya Ato Rinanto.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Proses islah berjalan lancar. Semua pihak legowo dengan kejadian ini dan saling memaafkan. Ini contoh yang baik. Kami tetap akan kawal psikologis korban bila dibutuhkan untuk pemulihan trauma," ujar Ato.
Dua santriwati tak kuasa menahan air mata sambil menyalami sesepuh pondok tempatnya menuntut ilmu. Bahkan, keluarga korban sempat meluapkan emosinya mengetahui perilaku oknum guru ngaji itu.
"Bagaimana pak kalau kejadian ini menimpa anak bapak. Apalagi dia ini sudah piatu, enggak punya ibu," ucap kerabat salah satu korban sambil menangis.
Pihak keluarga memilih mengeluarkan anaknya dari pondok pesantren itu karena khawatir kejadian serupa terulang. Meski masa pendidikan korban tersisa dua tahun untuk mendapat ijazah.
"Setelah islah, anak kakak saya ini mau cabut saja. Enggak ke pesantren lagi. Enggak diterusin. Biar saja enggak dapat ijazah juga," ujar Nuning, salah satu keluarga korban.
Pihak ponpes memastikan kekerasan yang menimpa santri bukan aturan lembaga. Pemukulan dilakukan karena kekhilafan pribadi sang guru tersebut karena santriwati dianggap melanggar aturan yaitu bolos mengaji.
Sanksi teguran sudah dilayangkan pada oknum guru ngaji itu. "Dia (Yn) sudah meminta maaf dan sudah dimaafkan oleh korban dan keluarga. Ini bukan dengan ponpes permasalahannya, tapi dengan guru ngaji yang bersangkutan," kata Ahmad Safei, sesepuh Ponpes Miftahul Huda Alfaqih. (bbn/bbn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini