Budayawan Sunda Hawe Setiawan menyatakan tidak melihat adanya urgensi dalam pembangunan Dilan Corner. Pembangunan 'monumen' itu hanya sebagai media sebagai promosi untuk film Dilan 1991.
"Saya sendiri sebagai warga Jabar, tidak melihat ada urgensi dengan pembuatan taman atau pojok Dilan di Kota Bandung itu. Saya hanya melihat kemarin kegiatan publik berupa pawai, tidak lebih dari euforia kolektif saja. Ini semua marketing industri pertunjukan. Tidak ada urgensinya dengan nilai simbolik bagi Jawa Barat," ujarnya saat dihubungi detikcom, Selasa (26/2/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Emil (Ridwan Kamil) ikut main dalam film itu, ikut merayakan euforia itu satu hal. Tapi bahwa dia dalam kedudukan sebagai Gubernur Jabar kebijakan di ruang publik itu hal lain yang harus mempertimbangkan hal lain juga," katanya.
Hawe juga memandang, pembangunan Dilan Corner sebagai cara Emil untuk menjaga hubungan baik dengan generasi milenial. Terutama untuk kepentingan politiknya di masa depan.
"Saya sih paham kenapa Emil senang sekali dengan euforia seperti itu. Karena dia butuh memelihara pencitraan pemilih milenial untuk kepentingan politiknya di kemudian hari. Tapi jangan lupa sebagai pejabat publik harusnya kebijakan publik tidak terlalu menitik beratkan kalangan milenial," kata Hawe.
Dia menyarankan agar Emil menjelaskan secara jelas kepada publik terkait pembuatan Dilan Corner tersebut. Namun polemik ini menurutnya tidak perlu direspons terlalu reaktif oleh Emil.
"Paling tidak harus ada penjelasan untuk menjawab keberatan dari sebagian besar orang. Enggak perlu juga Emil jadi sewot (dengan adanya kritikan), ya namanya juga pejabat publik," sentilnya.
Pendapat sama dilontarkan Pendiri Majelis Sastra Bandung Matdon. Ia menilai pembangunan Dilan Corner merupakan sebuah kebijakan yang kontraproduktif dalam pembangunan Jawa Barat.
"Persoalan Taman Dilan adalah persoalan remeh temeh jika diurus oleh gubernur yang nota bene main dalam film itu. Masih banyak persoalan pembangunan di Jawa Barat yang lebih penting. Manfaat Taman (Pojok) Dilan dirasakan kontraproduktif dengan pembangunan Jawa Barat," katanya dihubungi secara terpisah.
Selain itu, lanjut dia, masih banyak tokoh yang lebih layak dibuatkan 'monumen' ketimbang tokoh fiktif Dilan. Contohnya saja Inggit Garnasih, Dewi Sartika dan tokoh lainnya.
"Dilan adalah tokoh fiktif yang tidak memberi kontribusi pada Bandung (Jawa Barat), masih ada tokoh-tokoh lain yang layak dibuatkan taman. Saya kira ini perbuatan yang lebay, termasuk Menteri (Pariwisata Arief Yahya) yang mendukungnya, lebay pula," ucapnya.
Matdon berharap, Emil bisa lebih merangkul tokoh, budayawan dan pihak lainnya dalam merumuskan sesuatu. Sehingga kebijakannya itu tidak menimbulkan polemik di masyarakat.
"Sudah saatnya (gubernur) tidak mawa karep sorangan (semaunya sendiri). Musyawarah dengan orang berkompeten jika membuat sesuatu. Orang yang gagah adalah orang yang mampu menahan birahi kekuasaan. Mau gagah? Batalkan pembangunan Taman Dilan," tegasnya.
Sebelumnya saat peresmian Minggu (24/2/2019), Ridwan kamil mengatakan Dilan Corner nantinya akan menjadi ruang bagi milenial meningkatkan budaya literasi di Bandung. Seperti halnya kesuksesan novel Dilan yang diadaptasi menjadi sebuah film.
"Jadi nanti tempat ini dipakai secara positif untuk membahas sastra, novel, mendiskusikannya seperti inspirasi film Dilan dikonversi menjadi film. Mudah-mudahan ingat Dilan, ingat kesuksesan literasi dan film," tutur dia.
Peresmian Dilan Corner juga dilakukan oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya dan juga dihadiri para pemain Film Dilan 1991.
(mso/ern)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini