Kafe-kafe Korsel Kewalahan Ladeni Mahasiswa Belajar Berjam-jam

BBC Indonesia - detikNews
Senin, 15 Sep 2025 11:11 WIB
Meja seorang pengunjung Starbucks di Seoul, Korsel. (BBC)
Jakarta -

Di kawasan elite Daechi di Kota Seoul, Hyun Sung-joo menghadapi dilema.

Kedai kopinya kerap kali dikunjungi Cagongjok, istilah yang umumnya digunakan anak muda Korea Selatan untuk belajar atau bekerja di kafe.

Namun, baru-baru ini Cagongjok membuat Hyun geleng-geleng kepala.

Ada seorang pelanggan menggunakan dua laptop dan kabel gulung berisi enam stopkontak untuk mengisi daya semua perangkat elektroniknya selama seharian penuh.

"Akhirnya saya menutup semua stopkontak," ujarnya kepada BBC.

"Dengan harga sewa yang tinggi di Daechi, sulit untuk menjalankan kafe jika seseorang menempati kursi sepanjang hari."

Fenomena Cagongjok merajalela di Korea Selatan, terutama di area dengan jumlah mahasiswa dan pekerja kantoran yang tinggi.

Mereka mendominasi kafe, seringkali dalam skala yang jauh lebih besar daripada negara-negara Barat lainnya seperti UK.

Fenomena itu begitu menguat sampai Starbucks Korea mengatakan ada sebagian orang membawa monitor desktop dan printer, membuat partisi, serta meninggalkan meja tanpa pengawasan.

Jaringan kedai kopi ini kini telah meluncurkan pedoman nasional yang bertujuan mengekang "sejumlah kecil kasus ekstrem" yang mengganggu pelanggan lain.

Starbucks mengatakan staf tidak akan meminta pelanggan untuk pergi, tapi akan memberikan "panduan" bila diperlukan.

Starbucks juga mengutip kasus-kasus pencurian sebelumnya ketika pelanggan meninggalkan barang-barang mereka tanpa pengawasan.

Perusahaan itu menyebut pedoman baru ini adalah "langkah menuju lingkungan kedai yang lebih nyaman".

Namun, hal ini tampaknya tidak sampai menghentikan Cagongjok mengingat budaya kerja dan belajar di kafe sudah berlangsung beberapa tahun terakhir.

Para pelajar dan mahasiswa Korsel kerap belajar selama berjam-jam di gerai Starbucks. (BBC)

Pada suatu malam di Distrik Gangnam, Seoul, sebuah cabang Starbucks ramai dengan pelanggan yang sedang belajar. Mereka tampak menundukkan kepala di depan layar laptop dan buku.

Di antara mereka terdapat seorang pelajar berusia 18 tahun yang sedang mempersiapkan diri untuk ujian masuk universitas, "Suneung".

"Saya tiba di sini sekitar pukul 11.00 dan terus di sini sampai pukul 22.00," ujarnya kepada BBC.

"Terkadang saya meninggalkan barang-barang saya dan pergi makan di dekat sini," sambungnya.

Baca juga:

Kami tidak melihat peralatan besar selama duduk di Starbucks sejak pedoman baru dikeluarkan pada 7 Agustus. Yang kami lihat ada seorang pria membawa dudukan laptop, keyboard, dan mouse.

Tapi beberapa pelanggan tampaknya masih meninggalkan meja mereka untuk waktu yang lama. Laptop dan buku mereka terlihat berserakan di meja.

Ketika ditanya apakah pembatasan baru ini telah menyebabkan perubahan, Starbucks Korea mengatakan kepada BBC bahwa hal itu "sulit untuk dipastikan".

Sejumlah mahasiswa belajar di kedai Starbucks, namun kerap meninggalkan barang bawaan mereka untuk makan di luar kemudian kembali lagi. (BBC)

Reaksi terhadap langkah Starbucks beragam. Sebagian besar menyambut kebijakan ini sebagai langkah yang telah lama dinantikan untuk memulihkan normalisasi penggunaan kafe.

Tanggapan semacam itu khususnya datang dari pengunjung Starbucks untuk bersantai atau berbincang. Mereka mengaku sulit menemukan tempat duduk karena Cagongjok.

Suasana yang hening seringkali juga membuat mereka merasa canggung untuk berbicara dengan bebas.

Beberapa mengkritik kebijakan Starbucks Korea sebagai tindakan berlebihan, seraya mengatakan bahwa jaringan kedai kopi tersebut telah ikut campur urusan pengunjung.

Baca juga:

Hal ini mencerminkan perdebatan publik di Korea Selatan tentang Cagongjok yang telah memanas sejak 2010, bertepatan dengan pertumbuhan jaringan kedai kopi waralaba di negara tersebut.

Saat ini, jumlah kedai kopi waralaba di Korsel mengalami peningkatan sebesar 48% selama lima tahun terakhir hingga mendekati 100.000 unit, menurut Layanan Pajak Nasional Korsel.

Sekitar 70% orang dalam survei terbaru terhadap lebih dari 2.000 pencari kerja Gen Z di Korea Selatan oleh platform perekrutan Jinhaksa Catch mengatakan mereka belajar di kafe setidaknya sekali seminggu.

'Dua orang menempati ruang untuk 10 pelanggan'

Mengatasi masalah pelanggan yang "menempati tempat duduk berlama-lama" dan masalah terkait terbilang rumit. Kafe-kafe non-waralaba yang menghadapi hal serupa telah menerapkan berbagai pendekatan.

Meskipun Hyun pernah mengalami pelanggan yang membawa beberapa perangkat elektronik dan menyiapkan meja kerja di kafe, ia mengatakan kasus ekstrem seperti ini jarang terjadi.

"Mungkin hanya dua atau tiga orang dari 100 orang," kata pria yang telah buka usaha sebagai pemilik kafe selama 15 tahun ini.

"Kebanyakan orang baik hati. Beberapa bahkan memesan minuman lagi jika mereka tinggal lama, dan saya tidak masalah dengan itu," lanjutnya.

Kafe Hyun, yang juga digunakan penduduk setempat sebagai ruang untuk mengobrol atau les privat, masih menerima Cagongjok selama pelakunya menghormati ruang bersama.

Beberapa kafe waralaba lain bahkan menyediakan stopkontak dan meja terpisah.

BBC Sebagai pemilik kafe, Hyun Sung-joo, tidak menentang Cagongjok. Namun, menurutnya, ada pengunjung yang keterlaluan.

Namun, sejumlah kafe lain mengambil langkah yang lebih ketat.

Kim, seorang pemilik kafe di Jeonju yang meminta BBC agar identitasnya dirahasiakan, menerapkan kebijakan "Zona Dilarang Belajar" setelah berulang kali menerima keluhan tentang ruang yang dimonopoli.

"Dua orang mengambil alih ruang untuk 10 pelanggan. Terkadang mereka pergi untuk makan dan kembali untuk belajar selama tujuh atau delapan jam," ujarnya.

"Akhirnya kami memasang tanda yang menyatakan bahwa ini adalah ruang untuk mengobrol, bukan untuk belajar," sambungnya.

Kini, kafenya hanya mengizinkan waktu maksimal dua jam bagi mereka yang ingin belajar atau bekerja. Aturan ini tidak berlaku bagi pelanggan tetap yang hanya ingin minum kopi.

"Saya membuat kebijakan ini untuk mencegah potensi konflik antar pelanggan," kata Kim.

'Cagongjok' akan bertahan?

Jadi apa yang melatarbelakangi tren ini dan mengapa begitu banyak orang di Korea Selatan merasa perlu bekerja atau belajar di kafe ketimbang di perpustakaan, ruang kerja bersama, atau di rumah?

Bagi sebagian orang, kafe lebih dari sekadar ruang santai; melainkan tempat untuk merasa membumi.

Yu-jin Mo, 29, bercerita kepada BBC tentang pengalamannya tumbuh besar di panti asuhan.

"Rumah bukanlah tempat yang aman. Saya tinggal bersama ayah saya di dalam kontainer kecil, dan terkadang ia mengunci pintu dari luar dan meninggalkan saya sendirian di dalam."

Bahkan sekarang, sebagai orang dewasa, ia merasa sulit untuk menyendiri.

"Begitu bangun tidur, saya langsung pergi ke kafe. Saya mencoba perpustakaan dan tempat belajar, tetapi rasanya menyesakkan," ujarnya.

BBCYu-jin Mo lebih nyaman belajar di kafe ketimbang di perpustakaan.

Mo bahkan mengelola kafenya sendiri selama setahun, berharap dapat menyediakan tempat untuk orang-orang seperti dirinya dapat merasa nyaman untuk belajar.

Profesor Choi Ra-young dari Universitas Ansan, yang telah mempelajari pendidikan seumur hidup selama lebih dari dua dekade, memandang Cagongjok sebagai fenomena budaya bentukan masyarakat Korea Selatan yang sangat kompetitif.

"Ini adalah budaya anak muda yang diciptakan oleh masyarakat yang kita bangun," ujarnya kepada BBC.

"Kebanyakan Cagongjok kemungkinan besar adalah pencari kerja atau mahasiswa."

"Mereka berada di bawah tekananentah itu dari akademisi, ketidakamanan pekerjaan, atau kondisi perumahan tanpa jendela dan tanpa ruang untuk belajar.

"Dalam arti tertentu, anak-anak muda ini adalah korban dari sistem yang tidak menyediakan ruang publik yang cukup bagi mereka untuk bekerja atau belajar," tambahnya.

"Mereka mungkin dianggap mengganggu, tetapi mereka juga merupakan produk dari struktur sosial," cetusnya.

Profesor Choi mengatakan sudah saatnya menciptakan ruang yang lebih inklusif.

"Kita membutuhkan pedoman dan lingkungan yang memungkinkan belajar di kafetanpa mengganggu orang lainjika kita ingin mengakomodasi budaya ini secara realistis."

Simak juga Video: Kebobolan! Aksi Turis Korsel Paralayang di Bromo




(ita/ita)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork