Terlama di Dunia, Siswa Tunanetra di Korsel Hadapi Ujian Akhir 13 Jam

Terlama di Dunia, Siswa Tunanetra di Korsel Hadapi Ujian Akhir 13 Jam

BBC Indonesia - detikNews
Sabtu, 15 Nov 2025 18:21 WIB
Han Dong-hyun, seorang siswa tunanetra di Sekolah Hanbit Seoul. (BBC/Hosu Lee)
Jakarta -

Setiap November, kehidupan warga Korea Selatan melambat. Setiap tahun pada bulan ini, berbagai perguruan tinggi di negara itu menggelar penerimaan mahasiswa, termasuk ujian selama 13 jam untuk para pelajar penyandang disabilitas netra.

Toko-toko tutup, penerbangan ditunda, dan ritme lalu lintas pagi pun melambat. Semua itu berlangsung demi mengurangi kebisingan yang mungkin bisa membuyarkan fokus para pelajar.

Menjelang sore, sebagian besar peserta ujian keluar dari gerbang sekolah. Mereka menarik napas lega dan memeluk kerabat yang menunggu di luar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, tidak semua pelajar menyelesaikan ujian pada jam yang sama. Setelah hari benar-benar gelap, beberapa siswa masih berada di ruang ujian. Mereka baru selesai sekitar pukul 22.00.

Para pelajar ini adalah siswa tunanetra. Setiap tahun, mereka mengikuti ujian berdurasi lebih dari 12 jam. Ujian yang dalam bahasa Korea disebut Suneung itu adalah ujian masuk kampus terlama di seluruh Korsel.

ADVERTISEMENT

Kamis (13/11), lebih dari 550.000 siswa di seluruh Korsel akan mengikuti Suneung. Jumlah ini adalah yang tertinggi dalam tujuh tahun terakhir.

Ujian ini tidak hanya menentukan apakah seseorang akan bisa melanjutkan pendidikan ke universitas, tapi juga memengaruhi prospek pekerjaan, pendapatan, tempat tinggal, dan bahkan hubungan percintaan mereka di masa depan.

Para siswa diharuskan menjawab sekitar 200 pertanyaan dalam bahasa Korea.

Mereka juga wajib mengikuti tes matematika, bahasa Inggris, ilmu sosial atau ilmu pengetahuan alam, satu bahasa asing tambahan, dan Hanja (aksara Han klasik yang digunakan dalam bahasa Korea).

Bagi sebagian besar siswa, ini adalah ujian berturut-turut selama delapan jam. Mereka memulai tes Suneung pukul 08.40 dan selesai sekitar pukul 17.40.

Namun, siswa tunanetra dengan gangguan penglihatan berat diberikan durasi 1,7 kali lipat dari durasi tes tadi.

Artinya, jika para pelajar tunanetra mengikuti bagian bahasa asing tambahan, ujian dapat selesai paling lambat pukul 21.48 atau sekitar 13 jam setelah dimulai.

Tidak ada jeda makan malam bagi mereka. Ujian tetap berlangsung hingga selesai.

Ukuran fisik kertas tes braille juga berkontribusi pada panjangnya durasi ujian.

Ketika setiap kalimat, simbol, dan diagram diubah menjadi braille, setiap buklet tes menjadi enam hingga sembilan kali lebih tebal daripada standarnya.

Two hands on a braille practice booklet for the Suneung examBBC/Hosu LeeGesekan yang terus-menerus dengan huruf braille berisiko membuat tangan siswa terasa sakit.

Di Sekolah Tunanetra Hanbit Seoul, pelajar Han Dong-hyun yang berusia 18 tahun merupakan salah satu peserta Suneung.

Pada 2024 terdapat 111 peserta tes tunanetra di seluruh Korsel. Dari jumlah itu, 99 di antaranya memiliki gangguan penglihatan berupa low vision dan 12 pelajar lainnya, termasuk seperti Dong-hyun memiliki gangguan penglihatan berat, menurut data dari Kementerian Pendidikan dan Institut Kurikulum dan Evaluasi Korea.

Dong-hyun terlahir buta total dan tidak dapat membedakan cahaya.

Ketika BBC menemui Dong-hyun di sekolahnya, 7 November lalu, jari-jarinya bergerak cepat di atas buku latihan braille berisi soal-soal ujian tahun sebelumnya.

Dong-hyun fokus mengelola stamina dan kondisinya. Dong-hyun mengikuti Suneung menggunakan kertas ujian braille dan komputer pembaca layar.

"Sangat melelahkan karena ujiannya sangat lama," ujarnya.

"Tapi tidak ada trik khusus. Saya hanya mengikuti jadwal belajar dan berusaha mengelola kondisi saya. Itulah satu-satunya strategi," tuturnya.

Dong-hyun mengatakan, ujian bahasa Korea sangat sulit baginya.

Buku ujian standar untuk ujian bahasa Korea mencakup 16 halaman, tapi versi braille mencapai 100 halaman.

Bahkan dengan perangkat lunak pembaca layar, soal yang dibacakan secara lisan akan langsung hilang, tak seperti teks yang dapat dilihat dan dibaca ulang.

Alhasil, Dong-hyun harus mengingat detailnya saat mengerjakan soal.

Bagian matematika juga tidak lebih mudah baginya.

Dong-hyun harus menginterpretasikan grafik dan tabel rumit yang telah dikonversi ke braille, hanya menggunakan ujung jarinya.

Namun, Dong-hyun merasa ujian tahun lebih baik daripada era sebelumnya. Dulu, siswa harus melakukan hampir semua perhitungan di dalam kepala mereka.

Namun sejak 2016, peserta tes tunanetra diizinkan menggunakan alat tulis braille, yang dikenal sebagai hansone.

"Sama seperti siswa yang dapat melihat yang menuliskan perhitungan mereka dengan pensil, kami memasukkannya dalam braille di hansone," ujarnya.

Students sit at their desks with their hands placed on braille display devicesBBC/Hosu LeeSiswa bernama Oh Jeong-won menggunakan perangkat tampilan braille selama ujian.

Siswa lain di Sekolah Tunanetra Hanbit adalah Oh Jeong-won yang berusia 18 tahun. Dia mengatakan, sore hari adalah titik tersulit dalam ujian yang berlangsung sepanjang hari.

"Sampai makan siang, masih bisa diatasi," katanya.

"Tapi sekitar pukul 4 atau 5 sore, setelah Bahasa Inggris dan sebelum Sejarah Korea, saat itulah rasanya benar-benar berat. Tidak ada istirahat makan malam.

"Kami memecahkan soal di waktu makan normal, jadi rasanya lebih melelahkan. Meski begitu, saya terus berjuang karena saya tahu akan ada rasa pencapaian di akhir," ujar Jeong-won.

Bagi Jeong-won, kelelahan diperparah oleh kebutuhan untuk tetap fokus dengan kedua tangan dan pendengarannya.

"Ketika saya membaca braille dengan jari-jari saya dan juga menyerap informasi melalui audio, rasanya jauh lebih melelahkan daripada bagi siswa yang dapat melihat," ujarnya.

Bagaimanapun, durasi ujian dan jam belajar yang panjang bukanlah bagian tersulit dari Suneung. Yang paling menantang, bagi sebagian pelajar tunanetra, adalah mengakses materi pelajaran.

Buku teks populer dan kuliah daring yang diandalkan oleh siswa tunanetra seringkali sulit dijangkau.

Versi braille sangat terbatas. Adapun, mengonversi materi menjadi audio membutuhkan berkas teks yang sulit diperoleh.

Sering kali, pelajar tunanetra harus mengetik seluruh buku kerja secara manual agar dapat digunakan.

Kuliah daring juga menimbulkan kesulitan karena banyak instruktur menjelaskan konsep menggunakan catatan visual, diagram, dan grafik di layar, yang tidak dapat dipahami hanya melalui audio.

Satu kendala paling signifikan lainnya adalah buku ujian nasional versi braille yang kerap datang terlambat.

Akibat keterlambatan ini, siswa tunanetra seringkali menerima materi tersebut beberapa bulan lebih lambat daripada siswa lainnya.

"Siswa yang dapat melihat menerima buku EBS mereka antara Januari dan Maret dan mempelajarinya sepanjang tahun," kata Jeong-won.

"Kami baru menerima berkas braille sekitar Agustus atau September, ketika ujian tinggal beberapa bulan lagi."

Dong-hyun menyampaikan kekhawatiran yang sama.

"Materi braille baru selesai kurang dari 90 hari sebelum ujian," ujarnya. "Saya selalu berharap proses penerbitannya bisa lebih cepat."

BBC telah meminta otoritas pendidikan Korea untuk menjelaskan keterlambatan tersebut, tapi belum mendapat jawaban.

A classroom full of students at their desks, using braille materials and magnifiers, while a teacher stands in front of the whiteboardBBC/Hosu LeeSebuah kelas bagi para siswa tuna netra.

Bagi para siswa tunanetra, Suneung bukan sekadar ujian masuk perguruan tinggi. Ini adalah ajang pembuktian perjuangan mereka selama bertahun-tahun untuk mencapai titik ini.

Jeong-won menggambarkan ujian itu sebagai "ketekunan."

"Hampir tidak ada yang bisa Anda lakukan dalam hidup tanpa ketekunan," katanya. "Saya pikir kali ini adalah proses melatih tekad saya."

Guru mereka, Kang Seok-ju, menyaksikan para siswa menjalani ujian setiap tahun. Dia berkata, daya tahan para siswa tunanetra itu "luar biasa".

"Membaca braille dilakukan dengan menelusuri titik-titik timbul dengan ujung jari. Gesekan yang konstan dapat membuat tangan mereka cukup pegal," ujarnya. "Tapi mereka melakukannya berjam-jam."

Seok-ju mendorong para siswanya menyelesaikan ujian daripada menghadapi penyesalan.

"Ujian ini adalah tempat Anda menuangkan semua yang telah Anda pelajari sejak kelas satu ke dalam satu hari," katanya.

"Banyak siswa merasa kecewa setelahnya, tapi saya hanya ingin mereka pulang dengan mengetahui bahwa mereka telah melakukan yang terbaik.

"Ujian bukanlah segalanya," kata guru itu.

(ita/ita)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads