Adu Rudal Hipersonik, Punya Rusia Bisa Ubah Target Jadi Debu

BBC Indonesia - detikNews
Senin, 25 Agu 2025 10:39 WIB
KCNA via EPA
Jakarta -

Berkilauan di bawah sinar matahari yang menerpa sebuah lapangan parade di Beijing, rudal milik Tentara Pembebasan Rakyat China yang dibawa menggunakan truk bergerak perlahan melewati khalayak.

Rudal itu berbentuk seperti jarum dengan panjang 11 meter dan berat 15 ton. Di setiap rudal, terlihat tulisan: "DF-17".

China baru saja memperkenalkan rudal hipersonik mereka yang diberi nama Dongfeng.

Momen itu terjadi pada 1 Oktober 2019 dalam parade Hari Nasional China. Amerika Serikat sudah menyadari China sedang mengembangkan senjata itu.

Namun, sejak saat itu, China terus meningkatkan kinerja rudal tersebut.

Rudal itu dapat menjelajah lima kali lebih cepat dari kecepatan cahaya. Berkat kecepatan dan kemampuannya untuk bermanuver, rudal itu menjadi senjata yang hebat, sampai-sampai bisa mengubah cara berperang.

Inilah yang membuat persaingan global untuk mengembangkan rudal itu makin panas.

"Ini hanya satu komponen dari gambaran besar kontes geopolitik yang berkembang, yang kita lihat di antara aktor-aktor negara," ujar William Freer, seorang peneliti keamanan nasional dari lembaga think tank Council on Geostrategy.

"[Persaingan seperti ini] tak pernah terlihat lagi setelah Perang Dingin."

AFP via Getty ImagesChina memperkenalkan rudal hipersonik DF-17 di parade militer pada 2019.

Perlombaan rudal hipersonik Rusia, China, dan Amerika Serikat

Upacara di Beijing itu memicu spekulasi mengenai kemungkinan peningkatan ancaman dari pengembangan teknologi hipersonik oleh China. Saat ini, China memimpin di bidang rudal hipersonik, diikuti Rusia.

Amerika Serikat mulai menyusul, sementara Kerajaan Bersatu belum punya sama sekali rudal hipersonik.

Freer dari Council on Geostrategy, yang mendapatkan sebagian dananya dari perusahaan-perusahaan pertahanan dan Kementerian Pertahanan, berpendapat bahwa alasan China dan Rusia bisa memimpin sebenarnya relatif sederhana.

"Mereka memutuskan untuk mengivestasikan banyak uang untuk program-program ini sejak beberapa tahun lalu," katanya.

ReutersPengunjung berpose di depan kendaraan militer yang membawa senjata, termasuk rudal hipersonik DF-17 di pertunjukan di Beijing.

Sementara itu, kebanyakan negara Barat menghabiskan sebagian besar waktu dalam dua dekade pertama di abad ini untuk memerangi terorisme yang terinspirasi dari jihadi di dalam negeri mereka, dan perang-perang melawan pemberontakan di mancanegara.

Saat itu, kemungkinan bertempur melawan musuh dengan persenjataan modern masih tampak jauh.

"Akibatnya, kita gagal menyadari kebangkitan masif China sebagai kekuatan militer," ucap Sir Alex Younger, tak lama setelah pensiun sebagai kepala Badan Intelijen Inggris pada 2020.

Negara-negara lain juga sudah berpacu lebih maju. Israel punya rudal hipersonik Arrow 3 yang didesain untuk menjadi pencegat.

KCNA/EPA-EFE/REX/ShutterstockUji coba rudal balistik jarak menengah berisi hulu ledak hipersonik di Korea Utara.

Iran juga mengklaim memiliki senjata hipersonik. Mereka menyatakan bakal meluncurkan rudal hipersonik ke arah Israel saat perang 12 hari pada Juni lalu.

(Senjata itu benar-benar menjelajah di kecepatan sangat tinggi, tapi manuvernya diyakini tidak terlalu hebat hingga bisa masuk klasifikasi hipersonik).

Sementara itu, Korea Utara sudah menggarap senjata hipersonik versi mereka sendiri sejak 2021. Mereka mengklaim sudah memiliki senjata yang layak dan berfungsi (seperti terlihat di gambar).

Kini, AS dan Kerajaan Bersatu juga mulai berinvestasi pada teknologi rudal hipersonik, begitu pula negara-negara lain, termasuk Prancis dan Jepang.

Morteza Nikoubazl/NurPhoto via Getty ImagesIran mengklaim sudah meluncurkan rudal hipersonik ke arah Israel dalam perang 12 hari pada Juni lalu.

AS tampak meningkatkan kekuatan pencegahan mereka, dan sudah memulai debut senjata hipersonik yang diberi nama "Dark Eagle".

Menurut Kementerian Pertahanan AS, Dark Eagle "mengingatkan pada kekuatan dan tekad negara kami dan tentaranya karena senjata Dark Eagle melambangkan semangat dan daya mematikan dari senjata hipersonik Angkatan Darat dan Angkatan Laut."

Namun, China dan Rusia saat ini sudah jauh di depan. Menurut beberapa pakar, ini bisa berpotensi menjadi kekhawatiran.

Sangat cepat dan sangat tidak menentu

Hipersonik berarti sesuatu yang bergerak di kecepatan Mach5 atau lebih cepat. Itu berarti lima kali lebih cepat dari kecepatan suara atau sekitar 6.208,8 kilometer per jam.

Ini menempatkan rudal hipersonik ke level yang bukan cuma supersonik, yang berarti bergerak di atas kecepatan suara (1.234,37 km per jam).

Kecepatan ini menjadi salah satu alasan rudal hipersonik dianggap sebagai ancaman.

Rudal hipersonik tercepat saat ini adalah Avangard milik Rusia, yang kecepatannya diklaim bisa mencapai Mach 27 (33.313,42 km per jam), walau kecepatannya lebih sering tercatat di angka sekitar Mach 12 (14.805 km per jam), atau 3,2 km per detik.

Namun, kalau masalah kekuatan menghancurkan, rudal hipersonik tak jauh berbeda dari rudal supersonik atau subsonik, menurut Freer.

"Yang membedakan mereka adalah kesulitannya untuk dideteksi, dipantau, dan dicegat," ucapnya.

BBC

Secara umum, ada dua jenis rudal hipersonik. Pertama, rudal "boost-glide" yang mengandalkan roket (seperti DF-17 milik China) untuk meluncurkan rudal ke arah yang ditentukan, terkadang tepat di atas atmosfer Bumi.

Dari sana, rudal itu akan meluncur turun dengan kecepatan luar biasa.

Tak seperti rudal-rudal balistik pada umumnya, yang meluncur dengan arah yang bisa diprediksi, kendaraan yang membawa rudal hipersonik dapat bergerak lebih tak menentu, lalu bermanuver saat sudah mengarah ke target.

Kedua, ada rudal jelajah hipersonik yang meluncur mendekati medan, tapi tetap berada di bawah radar supaya tidak terdeteksi.

Kedua rudal itu sama-sama diluncurkan menggunakan roket.

Saat sudah mencapai kecepatan hipersonik, sistem yang dikenal sebagai "mesin scramjet" kemudian aktif. Mesin itu menyedot udara saat terbang, mendorong rudal itu ke arah targetnya.

Rudal-rudal ini dikenal sebagai "senjata berfungsi ganda". Artinya, hulu ledaknya dapat berupa nuklir atau peledak tingkat tinggi konvensional.

Namun, rudal ini bukan hanya soal kecepatan.

Untuk dapat diklasifikasikan sebagai "hipersonik", rudal itu harus bisa bermanuver. Dengan kata lain, tentara yang menembakkan rudal itu harus bisa mengubah arahnya secara tiba-tiba ke arah yang tidak tertebak, sementara rudal itu sedang bergerak di kecepatan ekstrem.

Rudal itu pun akan sangat susah dicegat. Kebanyakan rudal berbasis darat tidak bisa mendeteksi rudal hipersonik hingga senjata itu sudah di detik-detik akhir penerbangan.

"Dengan terbang di bawah radar, rudal itu bisa menghindari deteksi awal dan baru muncul di sensor di akhir fase terbang, membuat kesempatan untuk mencegat rudal ini sangat terbatas," tutur Patrycja Bazylczyk, peneliti di Missile Defence Project di Centre for Strategic and International Studies di Washington DC, yang mendapatkan pendanaan dari pemerintahan AS dan perusahaan pertahanan.

Jawaban dari tantangan ini, kata dia, adalah memperkuat sensor-sensor luar angkasa negara-negara Barat, yang bisa mengatasi keterbatasan radar di darat.

Masyarakat melihat sisa-sisa rudal hipersonik Zircon milik Rusia yang menghantam bangunan di Kyiv pada November 2024. (AFP via Getty Images)

Dalam skenario perang sesungguhnya, muncul pula pertanyaan mengkhawatirkan dari negara-negara yang menjadi target: apakah serangan itu menggunakan nuklir atau senjata konvensional?

"Hipersonik tidak banyak mengubah sifat perang, tapi mengubah kerangka waktu kapan kalian beroperasi," kata Tom Sharpe, seorang mantan Komandan Angkatan Laut Kerajaan Bersatu yang merupakan spesialis perang anti-udara.

"Kepentingan dasar untuk mendeteksi musuh, dan menembak mereka, lalu bermanuver agar bisa menembak target bergerak seperti ini sebenarnya tidak berbeda dari rudal-rudal sebelumnya, baik itu balistik, supersonik, atau subsonik."

"Langkah-langkah yang harus dilakukan target serangan untuk melacak atau menghancurkan rudal hipersonik juga sama seperti sebelumnya, tapi waktunya saja lebih sedikit."

Ada tanda-tanda teknologi ini meresahkan AS. Pada Februari lalu, Badan Riset Kongres AS merilis sebuah laporan yang salah satunya berisi peringatan.

"Pejabat-pejabat pertahanan AS menyatakan bahwa arsitektur sensor darat dan luar angkasa tidak cukup untuk mendeteksi dan melacak senjata-senjata hipersonik," demikian bunyi peringatan itu.

Namun, sejumlah pakar meyakini sebagian kehebohan soal hipersonik ini terlalu berlebihan.

Apakah kehebohan ini berlebihan?

Sidharth Kaushal dari lembaga kajian pertahanan Royal United Services Institute merupakan salah satu ahli yang menganggap rudal hipersonik bukan terobosan yang bisa mengubah peperangan.

"Kecepatan dan kemampuannya untuk bermanuver membuat rudal itu menarik jika melawan target-target berharga," kata Sharpe.

"Energi kinetiknya yang berpengaruh pada dampak serangan juga membuat senjata hipersonik berguna dalam menguburkan target, yang mungkin sulit dihancurkan dengan senjata konvensional sebelumnya."

Namun, kata Kaushal, walau senjata itu bisa meluncur lima kali lebih cepat dari kecepatan suara, ada beberapa cara untuk bertahan dari serangan hipersonik. Beberapa cara itu, ucapnya, "efektif".

Cara pertama yaitu membuat pihak yang meluncurkan rudal hipersonik lebih sulit melacak atau mengikuti target.

"Kapal-kapal dapat melakukan segala cara untuk melindungi diri," tuturnya.

"Citra satelit yang kabur dari satelit komersial juga hanya bertahan beberapa menit, kemudian tak bisa lagi dijadikan acuan untuk menentukan lokasi target."

"Mendapatkan satelit yang terkini dan akurat untuk mencapai target saat ini sangat sulit dan mahal."

Namun, ia memperingatkan bahwa kecerdasan buatan dan teknologi-teknologi lainnya mungkin bisa mengubah keadaan ini seiring waktu berjalan.

Waspada ancaman Rusia

Bagaimanapun, faktanya Rusia dan China sudah "curi start" mengembangkan senjata hipersonik.

"Saya pikir program hipersonik China sangat menakjubkan dan mengkhawatirkan," ujar Freer.

Namun, ia juga berkata, "Jika bicara soal Rusia, kita mungkin harus lebih waspada terhadap klaim mereka."

Pada November 2024, Rusia meluncurkan rudal balistik jarak menengah eksperimental di salah satu situs industri di Dnipro, Ukraina, yang dipakai sebagai lokasi uji coba.

Ukraina menyatakan rudal itu meluncur dengan kecepatan hipersonik, yaitu Mach 11 atau sekitar 13.581 km per jam.

Presiden Vladimir Putin mengklaim rudal bernama Oreshnik atau "pohon hazel" dalam bahasa Rusia itu bergerak dengan kecepatan Mach 10.

BBC

Hulu ledaknya dilaporkan sengaja dipecah menjadi beberapa proyektil lemah yang punya target masing-masing, sebuah metode yang sudah ada sejak Perang Dingin.

Seseorang yang mendegar rudal itu mendarat berkata kepada saya bahwa suaranya tak begitu kencang, tapi ada beberapa dampak yang terlihat.

Enam hulu ledak mendarat di target berbeda, tapi karena daya luncurnya lemah, kerusakan yang ditimbulkan tidak lebih signifikan dari pengeboman yang dilakukan Rusia di kota-kota Ukraina.

Bagi Eropa, bahaya laten bagi negara-negara NATO datang dari rudal-rudal Rusia, yang beberapa di antaranya sudah ditempatkan di pesisir Baltik, tepatnya di Kaliningrad.

Bagaimana jika Putin memerintahkan serangan di Kyiv menggunakan Oreshnik yang berisi peledak tingkat tinggi?

BBC

Putin mengklaim Oreshnik bakal diproduksi secara massal dan senjata itu, katanya, bisa mengubah target "menjadi debu".

Rusia juga punya rudal-rudal lainnya yang bisa meluncur dengan kecepatan hipersonik.

Putin terus memuji rudal Kinzhal milik angkatan udara Rusia, dengan klaim rudal itu meluncur sangat cepat sampai tak bisa dicegat.

Sejak saat itu, dia sudah menembakkan banyak rudal Kinzhal ke arah Ukraina. Namun ternyata, rudal Kinzhal bukan benar-benar hipersonik dan banyak di antaranya berhasil dicegat.

China dan Rusia "curi start" pengembangan rudal hipersonik. (Getty Images)

Salah satu senjata Rusia yang dikhawatirkan Barat adalah rudal Avangard yang sangat cepat dan bermanuver tinggi. Dalam upacara peluncurannya pada 2018, Putin mendeklarasikan Avangard tak terhentikan.

Sidharth Kaushal menduga tugas utama rudal itu adalah "menghadapi pertahanan rudal AS".

"Program persenjataan Rusia juga mengindikasikan kapasitas mereka untuk memproduksi sistem seperti Avangard sebenarnya terbatas," katanya.

Di sisi lain, adu kekuatan pengaruh di Pasifik Barat antara China dan AS terus memanas.

Perkembangan senjata rudal balistik China menimbulkan potensi ancaman serius bagi keberadaan angkatan laut AS di Laut China Selatan dan sekitarnya.

China saat ini memiliki kekuatan persenjataan hipersonik paling kuat di dunia. Pada akhir 2024, China mengungkap kendaraan hipersonik terbaru mereka, GDF-600.

Dengan muatan 1.200 kilogram, kendaraan itu bisa membawa sub-munisi dengan kecepatan mencapai Mach 7 (8.642 km per jam).

'Momen penting' dalam upaya Kerajaan Bersatu untuk mengejar ketertinggalan

Kerajaan Bersatu tertinggal dalam perlombaan senjata ini, terutama jika melihat negara ini sebagai salah satu dari lima negara pemilik senjata nuklir yang menjadi anggota permanen Dewan Keamanan PBB.

Namun belakangan, Kerajaan Bersatu berupaya mengejar ketertinggalan, atau setidaknya ikut serta dalam perlombaan senjata itu.

Pada April, Kementerian Pertahanan dan Kementerian Sains dan Laboratorium Teknologi mengumumkan bahwa para ilmuwan Kerajaan Bersatu sudah mencapai "momen penting" setelah mereka berhasil merampungkan satu program uji coba besar.

Uji coba daya penggerak atau propulsi itu merupakan hasil kolaborasi antara pemerintah Kerajaan Bersatu, industri, dan pemerintah AS.

Dalam periode enam pekan, total 233 "uji coba statis yang sukses" berlangsung di Pusat Riset Langley NASA di Virginia, AS.

Menteri Pertahanan Kerajaan Bersatu, John Healey, menyebutnya sebagai "momen penting".

Namun, Kerajaan Bersatu masih membutuhkan bertahun-tahun sampai senjatanya siap.

Rudal Kinzhal diduga bukan hipersonik dan sudah beberapa kali berhasil dicegat. (REUTERS/Valentyn Ogirenko)

Selain menciptakan rudal hipersonik, negara-negara Barat juga harus fokus menciptakan pertahanan yang kuat, kata Freer.

"Ketika bicara soal perang rudal, sama seperti dua sisi mata koin. Kalian harus bisa membatasi kerusakan sembari memiliki kemampuan untuk menyerang sistem peluncuran musuh," ucap Freer.

"Jika kalian mampu, dan kalian bisa mempertahankan diri sendiri dan juga menyerang balik, maka musuh cenderung tidak akan mencoba untuk memulai konflik."

Namun, Tom Sharpe masih berhati-hati untuk menyatakan sejauh mana kita harus khawatir sekarang ini.

"Poin kunci dari hipersonik adalah kedua belah pihak masih sama-sama kesulitan dan belum ada yang sempurna," katanya.

Lihat juga Video 'Korut Pamer Aksi Militer saat Bantu Rusia Lawan Ukraina':




(ita/ita)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork