Kisah Ibu Mengungkap Skandal di Balik Kematian Massal Akibat Pestisida

Kisah Ibu Mengungkap Skandal di Balik Kematian Massal Akibat Pestisida

BBC Indonesia - detikNews
Senin, 01 Jul 2024 17:11 WIB
Sofa Gatica, yang kehilangan bayinya, menunjukkan foto ketika aksi demonstrasi. (Irene Barajas)
Jakarta -

Pada tahun 1997, Sofa Gatica tinggal di sebuah lingkungan pedesaan kecil di Argentina tengah. Kehidupannya yang tenang berubah seketika akibat sebuah peristiwa mengerikan.

Bayi perempuannya, Nandy, meninggal saat baru berusia tiga hari. Walau dokter bergegas melakukan operasi setelah mendeteksi adanya masalah pada ginjal sang bayi, tetapi usahanya tidak berhasil.

"Akhirnya, mereka menyerahkannya kepada saya setelah tiga hari dan berkata, 'Ini putrimu' dan seperti menyorongkannya kepada saya," katanya kepada BBC dalam sebuah wawancara tahun lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Mereka meninggalkan putri saya dalam pelukan saya. Saya memeluknya. Dia hangat, tapi sudah meninggal," kenang Sofa.

"Masih sulit bagi saya untuk menceritakan hal ini.

ADVERTISEMENT

"Saya membawa pulang dan menguburkannya."

Dapat dipahami, momen tersebut adalah "waktu yang sangat sulit" bagi Sofia. Dilingkupi kesedihan, Sofia tak bisa meninggalkan rumahnya yang terletak di Kota Ituzaing, pinggiran Crdoba, selama berminggu-minggu.

Sofa Gatica Sofa mulai mendatangi rumah-rumah tetangganya, memetakan orang-orang yang jatuh sakit. (Irene Barajas)

Hingga akhirnya seorang tetangga mengomentari kematian Nandy yang tak wajar. Saat itu Sofia mulai memikirkan tentang gagal ginjal pada bayinya.

"Pada saat yang sama, saya mulai melihat tetangga saya yang lain seorang guru berjalan melewati rumah setiap hari, mengenakan sapu tangan putih," kata Sofa.

Ketika ditanya tentang sapu tangan itu, tetangga tersebut mengatakan kepada Sofa bahwa dia mengidap kanker.

"Saya mulai melihat anak-anak dengan penutup mulut, ibu-ibu dengan syal yang dililitkan di kepala mereka untuk menutupi kebotakan mereka, karena kemoterapi," kata Sofa.

"Saat itulah saya [merasa] tertampar sehingga saya tersadar," katanya.

Kematian akibat kanker meningkat

Menjelang akhir tahun 1990-an, kasus pasien yang didiagnosis menderita kanker, penyakit pernapasan, dan kematian anak mulai meningkat secara dramatis di Ituzaing.

"Saya mulai mengetuk setiap pintu rumah di blok permukiman saya, bertanya kepada tetangga berapa banyak orang di rumah mereka yang sakit, dan penyakit apa yang mereka derita," jelas Sofa.

Ia menemukan bahwa banyak orang di kota itu telah kehilangan anak kecil, atau memiliki anggota keluarga yang didiagnosis menderita kanker.

"Hanya dalam satu blok saja, saya menemukan lima atau enam anak telah meninggal."

Misi pencarian fakta tersebut mendorongnya untuk tindakan lebih lanjut.

Dipelopori oleh Sofa, 16 perempuan dari lingkungan sekitar membentuk kelompok 'Ibu-Ibu Ituzaing'.

Kelompok ini meneliti kematian-kematian setempat berdasarkan kasus per kasus.

Semua mata tertuju pada satu hal yang sama: kacang kedelai.

Di sekitar pemukiman warga di Ituzaing dan di kota-kota tetangga, terdapat ladang tanaman kacang kedelai. Para petani di ladang tersebut menggunakan bahan kimia, seperti glifosat, untuk membunuh gulma.

Glifosat, pembasmi gulma yang paling umum digunakan di dunia, dikembangkan pada tahun 1970-an oleh perusahaan Amerika Serikat, Monsanto.

ladang kacang kedelai

Ladang kacang kedelai di Argentina sering disemprot menggunakan cairan pembunuh gulma. (Getty Images)

Saat ini, glifosat diproduksi banyak perusahaan dan telah diizinkan sebagai bahan yang aman oleh badan-badan pengawas di seluruh dunia, termasuk di AS dan Eropa.

Namun, penggunaannya masih tetap kontroversial.

Pada tahun 2015, badan penelitian kanker Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyimpulkan bahwa glifosat "mungkin bersifat karsinogenik bagi manusia". Karsinogenik adalah zat yang dapat memicu pertumbuhan sel kanker.

Namun, Badan Perlindungan Lingkungan AS menyatakan bahwa pembasmi gulma ini aman jika digunakan dengan hati-hati.

Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) juga menyatakan bahwa glifosat tidak mungkin menyebabkan kanker pada manusia.

Kedelai hasil rekayasa genetika resisten terhadap glifosat. Sehingga ketika diaplikasikan pada tanaman, glifosat hanya membunuh gulma dan bukan tanaman kedelainya.

Akibatnya, tanaman transgenik seharusnya membutuhkan lebih sedikit herbisida. Namun karena gulma menjadi kebal, jumlah pembasmi gulma yang digunakan menjadi lebih banyak.

Di Ituzaing, banyak dari bahan kimia tersebut disemprotkan sehingga menyebar ke mana pun angin membawanya.

Air yang terkontaminasi

Kelompok Ibu-ibu Ituzaing menemukan jumlah kasus kanker di lingkungan mereka mencapai 41 kali lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional. Adapun jumlah kasus yang tinggi mencakup penyakit neurologis dan pernapasan, cacat lahir, dan kematian bayi.

Sebuah studi oleh Universitas Buenos Aires mengonfirmasi bahwa masalah kesehatan yang ditemukan di Ituzaing terkait dengan paparan pestisida.

Seorang peneliti biologi molekuler, Andres Carrasco, membenarkan bahwa glifosat meningkatkan kemungkinan terjadinya kelainan pada janin.

Monsanto menanggapi tuduhan tersebut dengan mengatakan bahwa "tidak ada bukti bahwa penggunaan glifosat yang benar menyebabkan masalah serius seperti [penyakit] ini".

Akhirnya, pihak berwenang setuju untuk menguji pasokan air setempat dan mengonfirmasi bahwa air tersebut terkontaminasi.

"Kami tidak menyadari bahwa kami tinggal di lingkungan yang terkontaminasi; banyak penderita kanker yang tidak mengetahui apa yang sedang terjadi," ujar Sofa.

"Kami tidak hanya mengonsumsi satu bahan kimia pertanian, tetapi juga campuran bahan kimianya."

Para aktivis mengambil inisiatif untuk menghentikan penggunaan bahan kimia tersebut.

"Setelah kami mengetahui bahwa kami meminum air yang terkontaminasi, setiap kali kami melihat traktor yang menyemprotkan pestisida, kami pergi dan menghalanginya," kata Sofa kepada BBC.

Untuk menghalangi para pengunjuk rasa, para petani dan pemilik lahan mulai menyemprot tanaman mereka dengan pestisida yang disemburkan dari pesawat terbang.

Ancaman kematian

Setelah aksi protes selama bertahun-tahun, di tengah kondisi kesehatan masyarakat yang buruk, pihak berwenang di Crdoba setuju untuk melakukan investigasi terhadap dampak bahan kimia pertanian di provinsi tersebut.

Argentina adalah salah satu pengekspor kedelai hasil rekayasa genetika terbesar di dunia ini adalah bisnis besar. Sofa mengatakan bahwa banyak orang merasa terancam oleh protes tersebut.

Ia mengatakan bahwa penyelidikan yang dipicu oleh tuntutan para ibu di Ituzaing berujung pada ancaman pembunuhan.

"Mereka menandai rumah saya, mereka mengirim orang untuk memecahkan jendela, mengintimidasi kami, menakut-nakuti kami agar kami pergi ke tempat lain. Tapi kami tetap tinggal meskipun ada rasa takut."

Sofa GaticaSofa GaticaSofa telah menerima banyak ancaman kematian atas aktivismenya.

Pada tahun 2012, sistem peradilan di Crdoba melarang penyemprotan bahan kimia pertanian di dekat daerah perkotaan.

Tak lama kemudian, wilayah lain di Argentina juga memberlakukan larangan terkait penggunaan bahan kimia pertanian.

Dan ketika Monsanto mulai membangun fasilitas untuk memproduksi benih jagung transgenik (hasil rekayasa genetika) di kota pedesaan lainnya yaitu Malvinas masih di Provinsi Crdoba mereka juga dihentikan oleh Sofa dan kelompok ibu-ibu.

Monsanto tidak mengumumkan secara resmi tentang penghentian fasilitas, tetapi mereka menjual tanah tersebut dan pergi.

"Cerita berakhir dengan kemenangan kami. Kami mengusir mereka. Mereka tidak bisa membangun fasilitas dan mereka pergi," kata Sofa.

Pada tahun yang sama, Sofa memenangkan Goldman Environmental Prize, yang dianggap sebagai "Nobel Lingkungan".

Pertempuran di pengadilan

Pada 2018, perusahaan Bayer asal Jerman membeli Monsanto dengan nilai US$63 miliar (sekitar Rp1 kuadriliun) yang memberikan Bayer kendali atas lebih dari seperempat pasokan benih dan pestisida global.

Namun pada tahun 2024, Bayer dihantam lebih dari 50.000 gugatan hukum di Amerika Serikat, dengan tuduhan bahwa produk pembasmi gulma merek dagang Monsanto, Roundup, menyebabkan kanker.

Hingga saat ini, perusahaan telah membayar lebih dari US$11 miliar (sekitar Rp180 triliun) untuk penyelesaiannya.

"Kami sudah memiliki tingkat kasus kanker yang tinggi di sini. Jika perusahaan itu tetap ada, kami akan memiliki lebih banyak kasus lagi. Jadi, apa yang kami capai adalah sebuah keberhasilan dalam hal kesehatan masyarakat," ujar Sofa.

Sofa Gatica ditangkap pada tahun 2018 di Dique Chico, Provinsi Cordoba, dalam sebuah protes untuk mencegah penyemprotan pembasmi gulma.

Sofa Gatica ditangkap pada tahun 2018 di Dique Chico, Provinsi Cordoba, dalam sebuah protes untuk mencegah penyemprotan pembasmi gulma. (Getty Images)

Federasi Profesional Medis Argentina telah menyerukan agar glifosat dilarang penggunaannya, tetapi pendapat bahwa glifosat mungkin berbahaya ditentang keras.

Saat ini, pestisida berbahan dasar glifosat dibatasi atau dilarang di 36 negara di seluruh dunia.

Pada bulan November 2023, Komisi Eropa mengadopsi peraturan pelaksana - yang mendahului undang-undang nasional masing-masing negara - untuk memperbarui lisensi glifosat selama 10 tahun.

Setelah hampir tiga dekade, Sofa tetap gigih memperjuangkan keadilan.

"Saya tidak mematuhi hukum jika hukum berpihak pada ketidakadilan. Ketika ada ketidakadilan, saya akan bertindak."

(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads