Sebanyak 31 bayi prematur Palestina telah dievakuasi dari Rumah Sakit Al-Shifa di Kota Gaza, yang oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) digambarkan sebagai "zona kematian.
Bayi-bayi tersebut telah dibawa ke Rumah Sakit Bersalin Al-Helal Al-Emairati, di Kota Rafah, Jalur Gaza bagian selatan, dekat perbatasan Mesir.
Adapun kompleks RS Al-Shifa yang terbesar dan paling modern di Gaza berada di bawah kendali pasukan Israel. Ratusan orang, termasuk pasien, telah meninggalkan RS Al-Shifa pada Sabtu (18/11).
Nebal Farsakh, selaku juru bicara Bulan Sabit Merah, mengatakan kepada BBC bahwa satu bayi meninggal pada Jumat (17/11) malam dan satu lagi pada Sabtu (18/11) pagi.
Pada Minggu (19/11), sebanyak 31 bayi yang selamat dievakuasi oleh Bulan Sabit Merah berkoordinasi dengan PBB.
Sebanyak 31 bayi dari RS Al-Shifa dibawa ke Rumah Sakit Bersalin Al-Helal Al-Emairati, di Jalur Gaza bagian selatan, "tempat mereka menerima perawatan darurat di unit perawatan intensif neonatal. (Reuters)
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, menggambarkan upaya para pekerja kesehatan di Jalur Gaza sebagai para sosok yang "heroik".
Dr Tedros mengatakan ke-31 bayi dibawa ke Rumah Sakit Bersalin Al-Helal Al-Emairati, di Jalur Gaza bagian selatan, "tempat mereka menerima perawatan darurat di unit perawatan intensif neonatal.
Bayi-bayi tersebut didampingi oleh enam petugas kesehatan dan 10 anggota keluarga staf, kata Dr Tedros.
Nebal Farsakh mengatakan bayi-bayi itu harus "dibungkus dengan kertas timah untuk menjaga suhu tubuh mereka - namun kondisi kesehatan mereka baik".
Sebagian besar dari 31 bayi yang dievakuasi ke Rumah Sakit Emirat di Rafah pada hari Minggu "kehilangan orang tua mereka akibat pemboman oleh Israel, kata Nebal Farsakh, juru bicara Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina, kepada BBC.
Dia mengatakan orang tua yang selamat telah diperintahkan untuk meninggalkan Kota Gaza tempat RS al-Shifa berada sebelum bayi-bayi tersebut dievakuasi, dan keberadaan mereka saat ini tidak diketahui.
Baca juga:
Dr Mohammad Zaqout, direktur umum rumah sakit di Jalur Gaza, mengatakan kepada kantor berita AP bahwa beberapa bayi mengalami dehidrasi atau menderita maag karena air yang tidak bersih.
Kurangnya obat-obatan telah menyebabkan orang lain terkena sepsis, dan beberapa mengalami hipotermia karena tidak dapat ditempatkan di inkubator.
Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas di Gaza mengatakan 13.000 orang telah tewas di Jalur Gaza sejak perang dengan Israel dimulai.
Militer Israel melancarkan aksi pembalasan di Gaza setelah sejumlah anggota Hamas masuk ke Israel pada 7 Oktober, menewaskan 1.200 orang dan menyandera lebih dari 200 orang.
Sebelumnya, Dr Marwan Abu Saada, kepala departemen bedah umum di Rumah Sakit Al Shifa, Gaza, mengatakan ada beberapa bayi prematur meninggal dunia.
"Dua bayi meninggal saat listrik di rumah sakit padam. Karena kekurangan oksigen. Yang ketiga meninggal karena gastroenteritis," kata Dokter Abu Saada kepada wartawan BBC Arabic, Ethar Shalaby.
Dokter Abu Saada berbicara melalui telepon ketika tentara Israel menggeledah ruang bawah tanah rumah sakit terbesar di Jalur Gaza itu.
Tim neonatal saat itu bermalam di rumah sakit, di lantai yang sama dengan bayi-bayi tersebut.
Israel telah lama menuduh Hamas memiliki pusat komando di bawah Al Shifa dan AS mengatakan intelijen mereka memperkuat tuduhan itu. Namun, Hamas membantahnya.
Dokter Marwan Abu Saada adalah kepala dari unit bedah umum di RS Al-Shifa Gaza (Marwan Abu Saada)
Dr Abu Saada mengatakan rumah sakit tidak memiliki kontak dengan orang tua atau wali yang masih hidup dari para bayi itu. Di tengah kekacauan perang, kerabat lainnya juga tidak bisa mereka temukan.
Dua bayi di antaranya ditemukan sendirian setelah terjadi penembakan, lalu dibawa ke rumah sakit. Empat lainnya dilahirkan melalui operasi sesar setelah ibu mereka meninggal.
Bagaimana merawat bayi-bayi ini?
"Kami menggunakan selimut penghangat yang biasa kami gunakan dalam operasi dan meletakkannya di bawah para bayi. Kami menggunakan tabung okisgen, tapi untungnya, sekarang hanya dua bayi yang membutuhkan oksigen.
"Mensterilkan tabung oksigen adalah hal yang menantang, kata Dokter Abu Saada.
"Kami berusaha sebaik mungkin. Kami melakukan apa pun yang kami bisa untuk mencoba mensterilkan tabung tersebut. Itu sebabnya kami menyerukan agar bayi-bayi ini dievakuasi - untuk menghindari risiko mereka terkena sepsis."
Staf rumah sakit telah berulang kali meminta agar dibuat koridor yang aman untuk para pasien dan dokter.
Bayi-bayi prematur yang sebelumnya ditangani di unit neonatal RS Al Shifa ini dibaringkan bersama setelah dipindahkan dari inkubator mereka ke unit lain (Palestinian Prime Ministry via Anadolu / Getty Images)
"Sumber daya kami sangat terbatas. Kami bahkan tidak memiliki air. Untuk mengoperasikan sumur air, kami harus memiliki listrik yang stabil. Kami hanya bisa mengoperasikannya setiap enam jam untuk mendapatkan air. Ini tantangan yang sangat besar. Kami tidak punya air untuk kebersihan pribadi atau untuk minum."
Tanpa kemampuan untuk mempertahankan kondisi yang steril, bayi-bayi ini sulit bertahan karena terancam oleh penyakit dan infeksi yang semestinya bisa dicegah jika situasinya lebih baik.
"Kami mencoba menyelamatkan nyawa bayi-bayi prematur ini dengan menjaga suhu ruangan tetap hangat, menyusui mereka, dan memberi antibiotik jika dibutuhkan," kata Dokter Abu Saada.
Dia dan timnya terus menerus merawat mereka.
"Kami memberi perawatan medis untuk mereka, tapi mereka tidak berada dalam lingkungan yang sesuai," tambahnya.
Saat ini tidak ada listrik untuk inkubator karena rumah sakit kekurangan bahan bakar.
"Stasiun oksigen di rumah sakit hancur dan tidak ada bahan bakar untuk mengoperasikannya. Blokade di Al-Shifa menghalangi kami untuk membangun kembali apa pun.
Dimana bayi-bayi prematur ini dirawat di RS Al-Shifa?
Ada delapan hingga sepuluh bayi mungil di setiap tempat tidur, dengan selimut hangat dan kertas timah untuk melindungi mereka.
"Jika suhu mendingin, jika listrik padam, kami menyelimuti mereka dengan kertas timah. Mereka sangat sensitif dan sangat rentan terhadap penyakit, jelas Dr Abu Saada soal situasi yang mereka hadapi.
"Kami menghemat bahan bakar dan panel surya yang jumlahnya terbatas untuk bayi-bayi prematur ini, sehingga kami tidak kehilangan mereka. Mereka saat ini tinggal di ruang operasi bedah jantung bukan di unit neonatal. Unit tersebut berlokasi di gedung Bedah Umum."
Latar belakang konflik Israel-Palestina:
Mengenai pengumuman Pasukan Pertahanan Israel (IDF) tentang pengiriman inkubator dan makanan bayi, Abu Saada mengatakan dia tidak mengetahui informasi apapun mengenai hal tersebut.
Dia mengatakan bahwa yang paling mereka butuhkan adalah bahan bakar agar bisa mengoperasikan inkubator di rumah sakit.
Sejak IDF menyerbu kompleks rumah sakit tersebut, Dr Abu Saada menuturkan bahwa jembatan penghubung antara gedung bedah umum dan bedah spesialis telah rusak, dan tidak ada dokter yang bisa pindah dari tempat mereka berada begitu penyerbuan dimulai.
Apakah RS Al-Shifa menerima lebih banyak bayi prematur?
"Selama lima hari terakhir, kami belum menerima satu pun bayi prematur baru, kata Dr Abu Saada.
"Kami biasa menerima bayi prematur sebelum Al-Shifa dikepung. Tapi sekarang, kami tidak bisa menerimanya karena kami tidak mampu memberikan perawatan yang mereka butuhkan.
"Mereka tidak ditempatkan di inkubator yang biasanya menjaga mereka pada suhu yang tepat.
"Saya terus menghubungi konsultan neonatal setiap hari untuk memeriksa bayi prematur. Namun hari ini saya tidak bisa melakukannya karena kami tidak dapat terhubung dengan gedung lain.
Masa depan bayi-bayi tersebut masih belum pasti. Para staf berharap keluarga mereka suatu hari nanti dapat ditemukan.
Untuk saat ini, bayi-bayi tersebut dibaringkan bersama, dengan label bertuliskan "Anak laki-laki dari" atau "Anak perempuan dari" serta nama ibu mereka jika diketahui.
Seperti apa situasinya bagi staf di RS Al-Shifa?
Sebelumnya, dokter-dokter senior di Rumah Sakit Al-Shifa bercerita kepada saya mengenai situasi di dalam kompleks tersebut.
Dr Adnan al-Bursh, kepala departemen bedah ortopedi, mengatakan para dokter "bahkan tidak diizinkan untuk melihat ke luar jendela ketika tentara Israel memasuki gedung.
Namun Mohamed Obeid, seorang ahli bedah ortopedi, mengatakan dia berhasil "mengintip sejenak ke luar jendela ruang operasi, dan melihat sekitar tujuh tentara masuk melalui unit penyakit dalam dan cuci darah serta gedung lain di dekatnya yang didirikan untuk ronsen.
"Semua orang panik ketika mereka (tentara IDF) pergi mengambil segala sesuatu di ruang bawah tanah.
"Sebelum mereka tiba, kami telah mengevakuasi pasien dari lantai empat gedung bedah umum karena terkena tembakan dan dindingnya rusak parah, dengan pecahan peluru di mana-mana, kata dia.
Dr Obeid mengatakan terdapat 15 dokter yang bertahan di satu ruangan di gedung bedah umum, dan mereka tidak bisa menghubungi dokter di gedung lain, terutama setelah pasukan Israel menghantam jembatan yang menghubungkan dua bangunan utama di rumah sakit tersebut. Menurutnya, kelompok itu "terputus dari dunia luar.
Disunting oleh Kate Forbes
(ita/ita)