Kisah WN Thailand Terjebak Perang Hamas-Israel: Kami Ditembaki dari Belakang

BBC Indonesia - detikNews
Sabtu, 28 Okt 2023 08:29 WIB
Narissara berdoa agar suaminya selamat dan kembali ke Thailand (BBC)
Bangkok -

Di sebuah desa yang berlokasi di dekat Sungai Mekong, Weerapon Laphan duduk di tengah-tengah sejumlah sesepuh perempuan di desanya. Mereka mengikatkan tali berwarna putih di pergelangan tangannya sambil merapal mantra.

Mereka memanggil "kwan" atau ruh pria yang akrab disapa Golf kembali ke tubuhnya, setelah Golf berhasil menyelamatkan diri dari serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober silam.

Pria berusia 34 tahun ini adalah salah satu dari 24.000 warga Thailand yang bekerja di peternakan dan kebun buah-buahan di Israel ketika milisi Hamas menyerbu dari Gaza.

Setidaknya 30 warga Thailand termasuk dalam sekitar 200 warga negara asing yang tewas dalam serangan tersebut.

Kini, pemerintah Thailand sedang berupaya mengembalikan ribuan warganya di Israel ke kampung halaman.

Warga Thailand adalah pekerja asing terbanyak yang bekerja di peternakan dan perkebunan di Israel. Kini muncul kekhawatiran akan dampak dari serangan tersebut terhadap ekonomi pertanian Israel, jika pekerja migran yang jumlahnya besar itu memutuskan kembali ke Thailand.

Banyak dari pekerja Thailand harus meminjam uang agar bisa bekerja di Israel, dan kini mereka kembali dalam kondisi tanpa pekerjaan dan memiliki utang.

Namun, orang-orang seperti Golf tak mau lagi kembali ke Israel.

Pada 7 Oktober pagi, ketika Golf dan rekan kerjanya menyaksikan roket ditembakkan ke angkasa dan dihalau oleh sistem pertahanan 'Iron Dome' milik Israel, dia merasa tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Golf telah bekerja di perkebunan jeruk di Yesha, sekitar 5 km dari perbatasan Israel dan Gaza, selama hampir setahun. Dia telah mengalami serangan roket terbang di atasnya sebelumnya.

Ketika dia dan kawan-kawannya mendengar suara tembakan senjata, Golf baru menyadari bahwa apa yang terjadi saat itu lebih serius dari biasanya. Dia kemudian bersembunyi.

Pada sore harinya, tutur Golf, milisi Hamas kembali dengan melempar granat dan menyorot ruang tempat mereka bersembunyi dengan senter. Dia dan 11 pekerja Thailand lainnya melarikan diri.

"Kami melompati tembok dan mereka menembaki kami dari belakang. Dor, dor, dor, dor."

Dia menceritakan bahwa saat itu dia hanya mengenakan celana pendek berwarna merah ketika dia berlarian di tengah perkebunan.

Baca juga:

Dia dan kawan-kawannya berlindung dan mematikan ponsel mereka agar Hamas tak mengetahui keberadaan mereka.

"Kami syok dan terus terdiam sepanjang malam - sangat senyap bahkan kami bisa mendengar suara daun jatuh," tuturnya.

Golf kemudian dibawa kembali ke Thailand dalam penerbangan evakuasi yang diorganisir oleh pemerintah Thailand pada 13 Oktober.

Dia memutuskan tak akan kembali ke Israel, terlepas pekerjaan apa pun yang ditawarkan padanya di sana.

Kematian nyaris menghampirinya, kata dia.

Selain Golf, 11 pekerja Thailand lain yang selamat memutuskan tak mau mengalami apa yang mereka rasakan pada 7 Oktober itu.

Setidaknya 19 pekerja Thailand diyakini diculik dan disandera oleh Hamas, sementara lainnya masih belum ditemukan.

Di desa lain yang berlokasi di Thailand bagian utara, Narissara Chanthasang belum mendengar kabar berita tentang suaminya, Nattapong, setelah serangan tersebut bergulir.

Pada saat kejadian, dia sempat menelepon Narissara dan melaporkan adanya penembakan dan dia telah melarikan diri.

Golf, yang disambut hangat sepulangnya ke Thailand, mengatakan dia tak akan kembali ke Israel (BBC)

Nattapong meninggalkan Narissara dan putra mereka yang berusia enam tahun pada Juni tahun lalu, untuk bekerja di kebun buah alpukat dan delima di Nir Oz, tak jauh dari kebun tempat Golf bekerja.

Nir Oz adalah salah satu kawasan yang terdampak serangan itu. Satu dari empat orang yang tinggal di sana diyakini dibunuh atau diculik oleh milisi, termasuk banyak di antara mereka adalah anak-anak.

Satu-satunya harapan yang dipercaya Narissara adalah Nattapong kemungkinan diculik, kendati namanya tak ada di daftar warga Thailand yang disandera.

Warga Thailand bagian timur laut kerap mencari lapangan pekerjaan di luar tempat tinggal mereka.

Kawasan yang sebagian besar terpencil itu termasuk wilayah termiskin di Thailand. Pertanian beras di sana tidak bisa terlalu diandalkan menopang hidup mengingat pekerjaan dengan gaji yang layak sangat jarang.

Lebih dari 80% pekerja Thailand di Israel berasal dari Thailand timur laut. Gelombang pekerja migran dari Thailand timur laut di Israel dimulai pada 1980-an.

Pemerintah Israel dan Thailand membuat kesepakatan terkait pekerja migran di perkebunan pada 2011 silam.

Namun, keberadaan pekerja Thailand di Israel bukannya tanpa kontroversi.

Pegiat HAM dan buruh telah melaporkan bahwa pekerja Thailand terlalu banyak bekerja dalam kondisi yang tak aman.

Baca juga:

Sejumlah pekerja bilang kepada BBC bahwa mereka harus membayar lebih dari biaya resmi senilai 70.000 baht (sekitar Rp 30 juta). Namun kemudian mereka menyebut bahwa penghasilan mereka di Israel bisa mencapai delapan kali lipat dari pendapatan mereka di Thailand.

Sebagian dari mereka juga memuji bos mereka di Israel yang memperlakukan mereka dengan baik dan menggaji mereka tepat waktu.

"Sebagian dari itu tentang memperbaiki status sosial mereka," ujar Poonnatree Jiaviriyaboonya, antropolog di Universitas Nakhon Phanom, Thailand.

"Mereka yang kembali dari bekerja di luar negeri dihormati. Mereka tampak lebih necis, lebih berpendidikan. Namun pada kenyataannya, [mereka] pekerja migran yang masih miskin, petani padi yang diabaikan pemerintah," jelasnya kemudian.

"Perlu adanya perubahan kebijakan untuk mengembangkan wilayah ini agar orang-orang tak perlu meninggalkan keluarganya dan pergi ke luar negeri."

Adapun, utang yang pinjam demi dapat bekerja di Israel menjadi kekhawatiran mereka yang terpaksa kembali ke kampung halaman lebih cepat.

Mereka berutang dengan tanah atau rumah sebagai jaminan dan mereka biasanya baru kembali dari Israel setelah bekerja selama lima tahun sehingga mereka bisa melunasi utang mereka.

Adik perempuan Golf meminjam uang untuknya agar kakaknya bisa bekerja ke Israel tahun lalu.

Sementara, ibu Narissara menjaminkan lahan padi mereka demi utang sebesar 200.000 baht (sekitar Rp 87 juta) yang diperlukan agar Nattapong bisa bekerja di Israel.

Anusorn Kamang yang baru berusia 25 tahun berkata bahwa dia mempertimbangkan untuk kembali ke Israel (BBC)

Ini menjadi pertimbangan Anusorn Kamang, yang baru berusia 25 tahun.

Ibunya telah menjadikan tanah mereka sebagai jaminan utang agar dia bisa bekerja di Israel.

Dia menghabiskan beberapa hari di perkebunan tempat dirinya bekerja ketika serangan roket terjadi.

Sayangnya, dia harus meminjam uang lebih banyak lagi agar bisa kembali ke Thailand.

Pemerintah Thailand telah menjanjikan untuk mengganti biaya kepulangannya, namun utang ibunya masih belum lunas sehingga dia berpikir untuk kembali setelah pertempuran berhenti.

"Saya mendapat banyak penghasilan di Israel dan bos baik terhadap saya. Bekerja di sini tak akan membawa saya ke mana-mana. Cukup untuk makan, tapi hanya saja. Saya ingin rumah dan mobil. Saat ini saya belum memilikinya."

Simak juga Video: 8 WN Iran Penyelundup 319 Kg Sabu ke RI Divonis Mati







(nvc/nvc)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork