
Sikap Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menjadi sorotan lantaran dia dituding tidak secara gamblang mengecam aksi kelompok ekstrem kanan dalam pawai supremasi kulit putih di Charlottesville, Virginia, kendati Gedung Putih memberikan klarifikasi.
Pada pawai di negara bagian Negara Bagian Virginia tersebut, seorang perempuan bernama Heather D Heyer tewas dihantam sebuah mobil yang menabraki kerumunan demonstran penentang supremasi kulit putih. Tindakan itu juga mengakibatkan 19 orang lainnya mengalami cedera.
- Charlottesville: Pawai 'berdarah' supremasi kulit putih di AS
- Gubernur Virginia minta pendukung supremasi kulit putih 'pulang ke rumah'
- Pembunuh jemaat gereja kulit hitam AS dinyatakan bersalah dan terancam hukuman mati
Secara terpisah, 15 orang luka-luka setelah terlibat bentrokan terkait pawai tersebut.
Seusai kejadian, Trump merilis pernyataan dari tempat berliburnya di New Jersey.
"Kebencian dan aksi memecah-belah harus berhenti sekarang," ujar Trump. "Kita mesti bersatu padu sebagai warga Amerika dengan cinta terhadap bangsa kita," tambahnya.
Trump juga mengecam "sekeras-sekerasnya kebencian, intoleransi, dan kekerasan dari berbagai pihak."

Namun, pernyataan Trump tersebut tidak secara gamblang mengecam kelompok-kelompok ekstrem kanan yang ikut dalam pawai supremasi kulit putih.
Hal ini menuai kritik dari Partai Republik, termasuk Senator Marco Rubio dan Ted Cruz, dua pesaingnya dalam kampanye pemilihan presiden 2016.
Senator Cory Gardner pun merilis cuitan, "Tuan Presiden, kita harus menyebut kejahatan dengan namanya. Mereka adalah kaum pendukung supremasi kulit putih dan ini adalah terorisme domestik".
Gedung Putih kemudian menyampaikan pembelaan.
"Presiden telah mengucapkan kata-kata yang sangat keras dalam pernyataannya kemarin. Dia mengecam segala bentuk kekerasan, intoleransi, dan kebencian. Tentu itu mencakup supremasi kulit putih, KKK, neo-Nazi dan semua kelompok ekstremis," kilah seorang juru bicara Gedung Putih.

Keberadaan Trump di Gedung Putih dan munculnya pawai supremasi kulit putih di Charlottesville dipandang sejumlah pihak bukan kebetulan.
Bahkan, secara blak-blakan, sebuah organisasi hak sipil bernama The Southern Poverty Law Center mengatakan, "Munculnya Trump sebagai presiden mendorong kebangkitan sayap kanan radikal, yang membuatnya sebagai penyanjung gagasan bahwa Amerika pada dasarnya merupakan negaranya kaum kulit putih."
Sejak Trump menggelar kampanye pemilihan presiden, keterkaitannya dengan kelompok sayap kanan radikal menjadi sorotan.
Pada Februari 2016, Trump menolak untuk menepis dukungan dari kelompok Ku Klux Klan dan David Duke, mantan pemimpin KKK yang menjadi politikus Partai Republik di Negara Bagian Louisiana.
"Setiap kandidat yang tidak secara langsung mengecam kelompok kebencian seperti KKK tidak mewakili Partai Republik dan tidak akan menyatukan partai," kata Tim Scott, senator Partai Republik pertama yang berkulit hitam dari South Carolina.
Sepekan kemudian, Trump merilis pernyataan menepis dukungan dari KKK. Namun, sikapnya yang tidak secara langsung mengecam KKK terus dipertanyakan.
Pertanyaan itu amat mungkin akan terus ditujukan kepada Trump setelah kelompok sayap kanan memuji sikapnya.
"Komentar Trump bagus. Dia tidak menyerang kita. Dia hanya berkata bangsa ini harus bersatu," sebut sebuah poster yang muncul pada laman neo-Nazi, The Daily Stormer.

(nvc/nvc)