
Perlawanan terhadap kebijakan Uni Eropa di Brussels mengenai masalah imigrasi dan pengetatan anggaran menjadi tema yang dijunjung partai-partai berbasis kerakyatan.
Lembaga riset itu mengatakan partai yang berbasis kerakyatan di Eropa dapat memenangi lebih banyak pemilihan umum seiring dengan meningkatnya daya tarik mereka. Hal ini juga mengakibatkan partai-partai tradisional harus membentuk koalisi yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka menambahkan, "terdapat sebuah kekosongan besar pada jantung politik Eropa, kekosongan yang seharusnya diisi ide-ide besar."
Jumlah pemilih yang rendah dan penurunan jumlah anggota pada partai-partai tradisional adalah indikator-indikator utama dalam fenomena ini.
Politik Yunani
Fenomena politik yang akan menguji dampak efek politik kerakyatan pada pemungutan suara akan terjadi dalam waktu dekat di Yunani. Negara itu akan mengadakan pemilu sela pada 25 Januari, menyusul kegagalan parlemen negara tersebut memilih presiden baru pada Desember lalu.Jajak pendapat menunjukkan bahwa partai sayap kiri Syriza dapat memperoleh suara terbanyak. Bila itu terjadi dan mereka mampu membentuk pemerintahan, EIU mengatakan bahwa hal tersebut akan mengejutkan Uni Eropa dan memicu gejolak politik di negara-negara lain.
"Pembentukan pemerintahan Syriza akan menganggu stabilitas, secara lokal dan regional. Hal itu akan memicu krisis dalam hubungan Yunani dan kreditur-kreditur mereka, karena penghapusan utang merupakan salah satu kebijakan utama partai tersebut," jelas EIU.
"Seiring dengan peningkatan dukungan terhadap partai-partai anti-otoritas di sejumlah negara-negara lain yang dijadwalkan untuk mengadakan pemilihan pada tahun 2015, efek merambat yang akan terjadi menyusul gejolak politik yang berkepanjangan di Yunani tentu akan signifikan."

Partai Syriza di Yunani yang dikepalai Alexis Tsipras diprediksi akan memicu gejolak politik di negara lain.
Anti-otoritas
Pemilu negara-negara lain yang berpotensi menghasilkan partai pemenang yang tidak dapat diprediksi, menurut EIU, adalah Denmark, Finlandia, Spanyol, Perancis, Swedia, Jerman, dan Irlandia."Persamaan antara negara-negara tersebut adalah munculnya partai-partai populis," kata EIU.
"Sentimen anti-otoritas makin meningkat di seluruh daerah eurozone (dan Uni Eropa secara keseluruhan) dan makin beresiko mengakibatkan kekacauan politik dan krisis."
Analisis EIU juga menyebutkan bahwa partai dan organisasi kerakyatan dari sayap kiri, kanan, dan tengah bergerak menuju ruang jarak yang berada di antara partai politik tradisional dan pendukung mereka.
Perlawanan terhadap kebijakan Uni Eropa di Brussels mengenai masalah imigrasi dan pengetatan anggaran menjadi tema yang dijunjung partai-partai tersebut.

Gerakan demonstrasi meningkat di sejumlah negara dalam beberapa tahun terakhir.
Demonstrasi berkembang
Sementara itu, selain peningkatan gerakan populis, terjadi juga kenaikan jumlah protes dan demonstrasi di sejumlah negara dalam beberapa tahun terakhir.EIU mengestimasi bahwa gerakan protes muncul secara signifikan di lebih dari 90 negara dalam lima tahun terakhir dan kebanyakan dari protes tersebut diadakan oleh kalangan kelas menengah yang muda, terpelajar yang tidak menyukai pemimpin politik mereka. Mereka cenderung menggunakan Twitter dan media sosial lainnya sebagai panggung politik.
"Pemicu protes-protes tersebut berbeda sebagian merupakan respons terhadap kekacauan ekonomi, sebagian lain merupakan pemberontakan terhadap pemerintahan dictator. Banyak dari mereka berdemo agar suara mereka didengar para pemimpin, serta untuk menyuarakan aspirasi kelas menengah yang bertumbuh pesat di negara berkembang."
(gah/gah)