"Setiap perempuan dilarang berjalan sendirian atau berada di luar rumah tanpa ditemani muhrimmya pada selang waktu pukul 24.00 sampai dengan pukul 04.00, kecuali dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan." Demikian bunyi salah satu Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo No. 10/2003 tentang Pencegahan Maksiat.
Apakah kedua peraturan daerah tersebut melindungi perempuan? Mungkin penyusunnya ingin melindungi perempuan, namun tidak memiliki bayangan bagaimana cara melindungi perempuan dari kejahatan seksual. Akibatnya aturan yang dihasilkan menjadi diskriminatif. Dalam aturan itu, stigma bahwa perempuan adalah penyebab tindakan maksiat diformalkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aturan seperti di atas mencerminkan ketidakpahaman pembuat kebijakan, yang didominasi oleh laki-laki, mengenai kepentingan perempuan. Kepentingan perempuan berbeda dari laki-laki. Bukan berarti laki-laki tidak bisa mewakili kepentingan perempuan. Namun dalam kenyataannya, lebih mudah bagi perempuan untuk merasakan apa yang dirasakan perempuan lain atau memahami apa yang menjadi kepentingan sesama perempuan.
Untuk itu, perempuan didorong untuk masuk ke dalam dunia pengambilan kebijakan, dunia politik. Dengan masuknya perspektif perempuan, produk kebijakan diharapkan mencerminkan kepekaan terhadap perbedaan kepentingan tersebut. Dengan demikian kebijakan yang dihasilkan berpihak pada kepentingan perempuan.
Selain itu, demokrasi mengharuskan adanya keadilan dan kesetaraan. Di Indonesia, jumlah penduduk perempuan hampir sama dengan laki-laki (50%-50%). Namun demikian keterwakilan perempuan di DPR periode 2009-2014 hanya 18% . Bagaimana mungkin jumlah perempuan yang begitu banyak tidak terwakili secara memadai di DPR?
Banyak halangan bagi perempuan untuk berpolitik. Anggapan bahwa politik itu kotor dan penuh intrik, sehingga perempuan pun dianggap tidak cocok masuk ke dalamnya. Selain itu, dikotomi "publik" dan "privat", menempatkan politik sebagai wilayah publik sehingga perempuan dihalangi masuk, karena tempat perempuan adalah wilayah privat.
Padahal hampir keseluruhan tugas-tugas keseharian rumah tangga melibatkan keterampilan untuk mengambil keputusan yang tepat dan melakukan kompromi. Contohnya tawar-menawar dengan tukang sayur, berkompromi dengan anak soal makanan dan waktu belajar, berkompromi dengan suami dalam hal pengeluaran rumah tangga atau pilihan alat kontrasepsi, dan banyak hal keseharian lainnya.
Lebih jauh lagi, kenyataannya kehidupan privat dan publik saling mempengaruhi. Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, listrik, dan lain-lain, berdampak pada kehidupan perempuan. Kebijakan-kebijakan tersebut berimplikasi pada semakin sulitnya pengaturan keuangan keluarga yang biasanya dilakukan oleh perempuan, yang berdampak pada kesejahteraan keluarga.
Demikian juga sebaliknya, dunia privat dapat mempengaruhi kebijakan publik. Soal perlindungan anak, kekerasan dalam rumah tanggal, poligami misalnya, dulu merupakan urusan privat yang tidak dapat dicampuri negara. Saat ini semua persoalan tersebut diatur dalam undang-undang, misalnya UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, atau UU Perlindungan Anak. Kedua UU ini memperlihatkan UU yang berpihak pada kepentingan perempuanm yang di dalamnya melibatkan peran penting perempuan di DPR.
Di Indonesia, perempuan tertinggal jauh dibandingkan laki-laki dalam berpolitik. Pertama, perempuan belum diprioritaskan untuk menjadi aktivis partai yang dianggap sebagai aset. Sebabnya, perempuan masuk politik pada usia yang relatif lebih tinggi, karena setelah menikah mereka harus mengurusi keluarga dan anak-anak. Sehingga bakat dan minat untuk berpolitik, terpaksa dinomorduakan.
Kedua, karena bukan pencari nafkah utama dalam keluarga, penghasilan perempuan terbatas. Keterbatasan sumber daya keuangan ini sangat membatasi keleluasaan perempuan untuk aktif dalam dunia di luar rumah tangganya, termasuk politik.
Perjuangan untuk menempatkan perempuan dalam politik telah merombak cara berpikir mengenai politik. Politik tidak lagi didefinisikan sebagai cara untuk menguasai, melainkan cara untuk memberdayakan. Relasi yang ada bukan relasi kuasa, melainkan kerjasama atau kemitraan. Dalam konteks ini ada nuansa keadilan dan kesetaraan. Kedua, penolakan pemikiran mengenai pemisahan dunia "publik" dan "privat" seperti disebutkan di atas.
Dengan demikian, negara seharusnya bukan lagi sebagai penguasa yang buta terhadap kepentingan perempuan, tetapi yang melindungi dan berpihak pada kepentingan perempuan. Oleh karena itu perjuangan meningkatkan jumlah perempuan di DPR harus terus diupayakan.
Dalam dua kali pemilu terkahir, kebutuhan ini sudah diakomodasi dalam UU No. 2/2008 yang menetapkan partai harus menyertakan 30% perempuan dalam kepengurusan. Kemudian juga dalam UU No. 10/2008 yang menetapkan partai harus mencalonkan 30% perempuan dalam daftar calon dan menempatkan minimal 1 perempuan di antara 3 nama calon.
Apakah kebijakan ini cukup signifikan untuk meningkatkan jumlah perempuan di arena politik parlemen? Beberapa tulisan berikut akan menjawab pertanyaan tersebut, sekaligus mengritisi proses dan hasil pemilu terakhir. (adv/adv)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini