Menurut seorang pakar media digital, platform media sosial X sudah mendorong penyebaran informasi yang menyesatkan terkait serangan teroris di Pantai Bondi, yang menewaskan 15 orang dan puluhan lain terluka.
Beberapa jam setelah penyerangan saat umat Yahudi sedang merayakan Hanukkah, media sosial dibanjiri dengan klaim palsu dan menyesatkan.
Seorang warga Sydney, Naveed Akram, mengatakan ia menerima ancaman kematian setelah nama dan fotonya disebut di X sebagai salah satu pelaku penembakan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa unggahan bahkan menyebarkan informasi pribadinya.
Baru-baru ini, Naveed, yang punya nama yang sama dengan salah satu pelaku penembakan, mengunggah video di halaman Facebook konsulat Pakistan di Sydney.
Ia memohon agar orang-orang berhenti menyebarkan informasi yang salah.
"Benar-benar mimpi buruk bagi saya, melihat foto wajah saya disebarkan di media sosial, disebut sebagai pelaku penembakan," kata warga negara Pakistan itu kepada ABC.
"Teman-teman menemani saya ke kantor polisi untuk melaporkannya, tetapi polisi mengatakan mereka tidak dapat berbuat apa-apa dan menyuruh saya untuk menonaktifkan akun saya."
Beberapa unggahan media dan artikel yang menyebutkan dirinya sebagai salah satu pelaku penembakan sudah dihapus, setelah Naveed melaporkannya. Tapi yang lain masih ditemukan di X dan platform lainnya.
"Saya masih gemetar. Ini telah membahayakan saya, dan juga keluarga saya di Pakistan," katanya.
"Ibu saya menangis dan merasa dalam bahaya."
Para pengguna media sosial juga mengunggah video kembang api, dan menyebutnya sebagai acara merayakan serangan di Bondi oleh "orang Arab" atau "Islamis".
Namun, sebuah organisasi komunitas lokal mengatakan pertunjukan tersebut adalah untuk perayaan Natal.
Salah satu fitur di X, 'Community notes', kemudian ditambahkan ke salah satu unggahan, dan beberapa sudah dihapus. Tapi pengguna lain terus menyebarkannya dan salah mengartikan video tersebut.
Informasi yang salah lainnya yang dibagikan di X termasuk menyebutkan pelaku penembakan sebagai mantan anggota Pasukan Pertahanan Israel (IDF), atau sebagai orang Pakistan, serta menyebutkan serangan susulan terjadi di sejumlah daerah di Sydney, serta menyebutkan kalau tragedi itu adalah operasi yang salah.
Kepolisian di negara bagian New South Wales sudah mengonfirmasi jika salah satu pelaku penembakan berasal dari India, sementara yang lain lahir di Australia.
Ada faktor ekonomi di sekitar disinformasi
Pakar disinformasi Timothy Graham mengatakan X terus menjadi platform berpengaruh di mana "narasi palsu" mulai menjadi viral sebelum menyebar lebih luas.
Narasi ini bisa jadi menyesatkan secara tidak sengaja, atau sengaja menipu, kata Dr. Graham, seorang profesor di bidang Media Digital di Queensland University of Technology.
"Kesimpulan terbesar bagi saya adalah platform, khususnya X, benar-benar mendorong hal ini melalui fitur desain mereka⦠sayangnya, mereka mendorong dan memberi reward [ke konten yang menyesatkan]."
Dr. Graham mengatakan pendorong terbesar banyaknya informasi yang salah adalah fitur monetisasi yang dimiliki X, di mana pengguna dibayar untuk 'engagement' di unggahan mereka.
Situs X menyatakan: "Pendapatan dihitung berdasarkan engagements terverifikasi dengan unggahan Anda, seperti likes dan replies."
Dr. Graham mengatakan orang-orang butuh informasi setelah ada kejadian besar, seperti penembakan di Pantai Bondi.
Selain banyak konten menyesatkan dimaksudkan untuk mengeksploitasi kebutuhan, Dr. Graham mengatakan sebagian besar pembuatan konten dimotivasi oleh faktor finansial.
"Orang-orang termotivasi untuk membagikan konten, yang mereka tahu akan mendapatkan banyak klik, terlepas dari kualitasnya, terlepas dari apakah itu benar atau faktual, hanya karena mereka dapat menghasilkan uang, dan ini jelas merupakan masalah yang sangat besar," kata Dr. Graham.
"Pada dasarnya ada ekonomi di sekitar disinformasi sekarang."
Syarat dan ketentuan 'Creator Revenue Sharing' di X menyatakan "konten yang berkaitan dengan tragedi, konflik, kekerasan massal, atau eksploitasi isu politik atau sosial yang kontroversial" adalah konten yang dibatasi dan "mungkin menghadapi pembatasan monetisasi".
Namun, tidak jelas kapan syarat dan ketentuan tersebut diberlakukan.
Untuk bergabung dengan program monetisasi, akun harus sudah memiliki jumlah interaksi yang signifikan, termasuk 5 juta "tayangan organik" dalam tiga bulan terakhir dan setidaknya 500 pengikut terverifikasi. Mereka juga harus menjadi pelanggan berbayar X.
ABC sudah mencoba menghubungi X untuk meminta komentar.
Moderasi melalui 'community notes'
Dr. Graham mengatakan sistem moderasi yang dilakukan 'community notes' di X tidak cocok saat ada perkembangan berita yang cepat dan memecah belah warga, seperti serangan teroris di Bondi.
Dalam 'community notes' pengguna dapat "menambahkan catatan bermanfaat secara kolaboratif ke unggahan yang mungkin menyesatkan".
X mengatakan 'community notes' hanya muncul ketika unggahan dinilai "bermanfaat" oleh orang-orang dari berbagai perspektif.
"Untuk mengidentifikasi catatan yang bermanfaat bagi banyak orang, catatan memerlukan kesepakatan antara kontributor, yang terkadang berbeda pendapat dalam penilaian mereka sebelumnya," demikian pernyataan di situs X.
Dr. Graham mengatakan 'community notes' bisa berhasil untuk beberapa konten, tapi tidak untuk peristiwa yang memecah belah, yang memerlukan kesepakatan antara orang-orang yang memiliki pandangan yang sangat berlawanan.
Pada akhirnya 'community notes' membutuhkan waktu terlalu lama atau tidak pernah ditambahkan, katanya.
"Sementara itu, mereka terus mengumpulkan banyak penonton. Mereka diberitakan. Mereka diliput oleh [saluran lain].
"Ini menyebar seperti api, dan Anda tahu 10, 12, 24 jam kemudian kita masih belum melihat konteks apa pun yang ditambahkan."
Misinformasi di media sosial adalah 'masalah infrastruktur'
Dr. Graham mengatakan solusi untuk misinformasi di media sosial adalah kompleks dan harus menemukan keseimbangan antara kebebasan berbicara dan melindungi publik.
Namun, ia mengatakan beberapa langkah penting bisa diambil, seperti soal monetisasi dan juga membuat data platform media sosial lebih mudah diakses.
"Kita hidup di zaman kegelapan akses ke data media sosial," katanya.
Ia mengatakan para pemangku kepentingan memahami seberapa banyak ujaran kebencian dan jenis apa yang terjadi, serta tingkat campur tangan asing.
Sehingga diperlukan regulasi yang mengharuskan platform untuk membagikan spesifikasi algoritma mereka, cara kerjanya, dan konten apa yang mereka promosikan, katanya.
Awal bulan ini, Uni Eropa mendenda X sebesar 120 juta euro karena pelanggaran undang-undang layanan digital, termasuk soal adanya "hambatan yang tidak perlu" bagi para peneliti yang mencoba mengakses data publik.
"Undang-Undang Layanan Digital Uni Eropa menghadapi masalah ini secara langsung, dan saya pikir mereka melakukan pekerjaan yang sangat baik dalam mencoba menembus platform tersebut," kata Dr. Graham.
"Mereka perlu berbagi data dengan masyarakat. Kita perlu tahu apa yang terjadi."
Dr. Graham mengatakan misinformasi di media sosial adalah "masalah infrastruktur".
"Kita perlu menyadari platform seperti X sekarang adalah infrastruktur modern, seperti jembatan adalah infrastruktur, seperti kabel telepon adalah infrastruktur," katanya.
"Jika ada sesuatu yang bermasalah tentang hal itu, maka kita perlu mengubahnya; jika tidak, mereka akan terus melakukan hal yang sama."
Tonton juga video "Tangis Ibu Cerita Detik-detik Anaknya Tewas Ditembak di Pantai Bondi"











































