"Peristiwa yang terjadi pada tanggal 15, 16, 17Juli telah mendapat perhatian cukup luas. Baik di masyarakat DIY, nasional, maupun internasional," ujar Pigai.
Hal ini disampaikan Pigai di asrama mahasiswa Papua, Kamasan, Jalan Kusumanegara, Yogyakarta, Rabu (20/7/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Komnas HAM memutuskan untuk turun ke sini untuk melakukan pemantauan, penyelidikan," imbuh Pigai.
Pemantauan dan penyelidikan oleh Komnas HAM, kata Pigai, berdasar pada dua aturan hukum di Indonesia. Dua aturan hukum tersebut yaitu UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan etnis.
Pihak pertama yang ditemui Pigai dalam upaya mengumpulkan informasi dan fakta yaitu LBH Yogyakarta.
"Kami mendapat banyak info terkait dengan apa yang terjadi dalam peristiwa tersebut. Dan ada info ada yang menjadi korban," kata Pigai.
Lalu Pigai juga mendatangi Asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta untuk menggali informasi.
"Kami dapat info dari beberapa orang adik-adik di sini tentang apa yang dilihat dan yang menjadi korban," imbuhnya.
![]() |
Selanjutnya Pigai melakukan pertemuan dengan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Kapolda DIY Brigjen Pol Prasta Wahyu Hidayat. Sejumlah dokumen resmi, info tertulis dan lisan juga didapatnya.
Hasilnya, Komnas HAM sementara menyimpulkan adanya dugaan indikasi pelanggaran HAM di 6 bidang variable.
Enam variabel tersebut yaitu, pertama, tentang apakah warga negara dalam hal ini mahasiswa, diberi ruang kebebasan dan ruang berekspresi atau tidak. Hal ini merujuk pada prinsip kebebasan berpendapat, pikiran, dan perasaan merupakan hak kodrat yang melekat pada setiap individu.
Kedua, Pigai mengaku menemukan fakta dan info dari lapangan tentang adanya kekerasan yang dialami mahasiswa asal Papua di Yogyakarta pada Jumat (15/7). Dalam konteks HAM, ujar Pigai, manusia tidak boleh dianiaya dan disiksa. Untuk itu Pigai dan timnya telah mewawancarai beberapa korban.
"Kami juga kroscek ke polisi dan saksi-saksi lain," imbuh Pigai.
Ketiga, adanya tindakan hate speech, kekerasan verbal yang mengandung unsur rasisme bertentangan dengan UU no 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Keempat, kata Pigai, adanya kelompok-kelompok atau Ormas intoleran melakukan orasi dengan mengeluarkan kata-kata kasar menjurus rasisme dan di saat yang sama disaksikan oleh aparat.
"Apakah dengan sadar dan sengaja aparat melakukan pembiaran dan bertindak tidak profesional?" ungkapnya.
![]() |
Variabel yang kelima, apakah dalam peristiwa tersebut, Pemprov DIY telah melakukan upaya untuk menjaga ketentraman masyarakat. Adakah upaya pemerintah agar tindakan rasisme tidak terjadi?
Keenam, adanya fakta bahwa 6 orang ditangkap dan 1 orang menjadi tersangka, apakah sudah mendapat perlakukan yang adil dalam proses hukumnya.
"Apakah kepolisian sudah melakukannya secara standar HAM atau tidak," kata Pigai.
Salah seorang mahasiswa Benediktus Degei (23) menjelaskan peristiwa yang dialaminya 5 hari lalu kepada wartawan.
Degei yang pagi itu sekitar pukul 09.00 WIB akan masuk ke asrama melalui gerbang belakang dihadang puluhan massa mengenakan pakaian preman.
"Saya akan ikut aksi yang digelar oleh Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) di dalam asrama. Saya Berdua dengan teman saya dimintai identitas dan surat-surat kendaraan," cerita Degei.
Namun saat dia dan temannya akan menyerahkan surat-surat tersebut, puluhan orang tersebut menyerangnya. Degei kemudian diamankan polisi dan ditahan beberapa jam di Polda DIY hingga akhirnya dilepaskan.
Degei mengalami memar-memar di beberapa bagian tubuhnya. Lengan sebelah kanannya juga terluka akibat tendangan.
Sedangkan temannya yang lain Obet Hisage (21) juga mengalami hal yang sama. Dia yang saat itu pulang ke asrama usai berbelanja ubi dari pasar mengaku dihadang puluhan petugas Brimob di pintu belakang asramanya.
"Saya disuruh turun dari motor dan ditampar, lalu dipukul kepala saya pakai senjata. Dua karung ubi juga dihamburkan di jalan, saya dipukuli dan disuruh pungut ubi-ubi itu lagi," kata Obet.
Obet juga kemudian ditahan beberapa jam di Polda DIY sebelum akhirnya dibebaskan.
Degei dan Obet sudah dimintai keterangannya oleh Komnas HAM. Menanggapi kesaksian tersebut, pihak Polda DIY membantahnya.
"Tidak ada kekerasan. Yang ada dua anggota kami dipukuli, semua itu hoax saja. Tidak ada (mahasiswa) yang terluka," kata Kepala Bidang Humas Polda DIY AKBP Anny Pudjiastuti.
(sip/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini