"Untuk membesarkan partai mereka sebut nama Jokowi, namun untuk ketua umum sebagian besar masih menyebut nama Mega. Walau dengan catatan hampir 150 DPC sudah mulai berani tidak mengikuti arus aklamasi," kata Direktur Eksekutif Cyrus Network Hasan Nasbi kepada detikcom, Jakarta Pusat, Rabu (1/4/2015).
Sensus ini dilakukan di 34 provinsi dan 541 kabupaten/kotaβ dengan metode wawancara terstruktur tatap muka para ketua DPD dan DPC. Sensus ini dilaksanakan pada tanggal 16 Februari-19 Februari 2015, melibatkan 2.000 ketua PDIP di daerah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebab, selama ini hampir segala keputusan dikembalikan kepada hak prerogatif satu orang saja. Partai ini akan meledak tanpa kemampuan membangun konsensus ketika suatu saat megawato sudah tidak mampu lagi mengurus partai," terangnya.
"Megawati hari ini sebenarnya bisa dikenang sebagai tokoh negarawan sejati ketika keteladanannya membuka ruang regenerasi. Mega telah menunjukkan sikap negarawan pada pilpres lalu dengan merestui pencapresan Jokowi," lanjutnya.
Kalau dilanjutkan dengan keteladanan dalam membimbing dan memastikan terjadinya regenerasi secara elegan di tubuh partai, maka bakal sempurna Mega menjadi negarawan sejati. Sebab idealnya usia partai harus jauh lebih panjang dibanding usia individu di dalamnya.
"Jika tidak dipersiapkan jauh-jauh hari partai ini rawan hancur karena tidak terbiasa mengelola kompetisi internal. Bisa dikatakan PDIP adalah partai yang tidak terbiasa mengelola kompetisi untuk menghasilkan konsensus bersama," terang Hasan.
Karena memang sama sekali tidak terbiasa dengan kompetisi gagasan, program, dan perebutan kepemimpinan melalui voting di internal, itu pula yang menyebabkan rendahnya skill PDIP di parlemen. "Itulah sebabnya mereka nyaris selalu kalah dalam perebutan pimpinan, alat kelengkapan dewan dan lain-lain. Karena biasanya hanya mengangguk untuk aklamasi," pungkasnya.
(van/try)