Norma yang dimohonkan Ina yaitu Pasal 32A ayat (1) UU Mahkamah Agung yang berbunyi:
Pengawasan internal atas tingkah laku hakim agung dilakukan oleh Mahkamah Agung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Menurut Ina, UU di atas bertentangan dengan Pasal 24B ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi:
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
dan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945:
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
"Tidak ada satu pun pasal dalam konstitusi yang mengatur secara eksplisit tentang kewenangan Mahkamah Agung untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim," ujar Ina dalam resume permohonan yang dikutip dari website Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (31/3/2015).
Menurut warga Lampung ini, para perumus konstitusi tidak memilah pengawasan internal dan eksternal sehingga dapat berpotensi terjadinya dualisme pengawasan hakim agung dan hakim. Hal ini berakibat ketidakpastian hukum atas keputusan mana yang dianggap melanggar kode etik hakim yang diberikan oleh Komisi Yudisial atau Mahkamah Agung.
"Gagasan dan pemikiran lahirnya Komisi Yudisial didorong karena tidak efektifnya pengawasan internal yang ada di badan-badan peradilan," ujar Ina dalam permohonan yang diregistrasi Nomor 39/PUU-XIII/2015 itu.
Dengan hukum dasar di atas, Ina meminta MK mencabut pasal yang memberikan kewenangan MA mengawasi hakim.
"Menyatakan Pasal 32A ayat 1 UU tentang Mahkamah Agung dan Pasal 39 ayat 3 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," pinta Ina.
(asp/nrl)