Dalam catatan detikcom, Jumat (13/3/2015), eksekusi terhadap 6 terpidana mati telah dilakukan pada 18 Januari 2015 di awal kepemimpinan Prasetyo. Saat itu eks Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) itu berjanji bahwa eksekusi itu akan berlanjut.
Apabila dibandingkan dengan eksekusi tahap pertama, manuver hukum yang dilakukan para gembong narkoba kali ini lebih alot. Bahkan Keputusan Presiden (Keppres) Jokowi yang menolak permohonan ampun (grasi) mereka pun digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bagaimana mereka melakukan langkah hukum ini, itu yang tidak lazim. Mereka juga tahu persis bahwa grasi itu bukanlah objek dari gugatan kan. Grasi itu kan hak prerogatif seorang kepala negara, presiden, yang diatur dalam konstitusi. Tidak ada satu pihak manapun yang bisa membatasi, mengganggu gugat apalagi membatalkan, termasuk proses hukum sekalipun. Prerogatif, gimana tho. Yang digugat di PTUN itu kan grasi, konyol itu sebenarnya," papar Prasetyo ketika dihubungi, Kamis (12/3) kemarin.
Meski begitu, Prasetyo mengikuti proses hukum yang dilakukan oleh para gembong narkoba tersebut. Baginya, Kejaksaan Agung (Kejagung) tak ingin pelaksanaan eksekusi terpidana mati tersebut masih terganjal upaya hukum yang masih tersisa.
"Mereka juga ikut menekan kita, meskipun bentuknya imbauan atau pernyataan apapun itu kan merupakan tekanan. Tapi kita tidak akan bergeming dengan tekanan seperti itu. Tentunya di sisi lain juga kita tidak mau menyisakan masalah apapun ketika eksekusi itu dilaksanakanβ," kata Prasetyo diplomatis.
Bagaimanapun juga ketika kabar pelaksanaan eksekusi mati merebak, para gembong narkoba kalang kabut mencari cara untuk menghindar dari timah panas. Seharusnya, pihak kejaksaan pun berkoordinasi dengan pihak lain seperti Mahkamah Agung (MA) serta pengadilan untuk mengantisipasi manuver hukum para terpidana mati.
Seperti langkah 3 gembong narkoba yang tiba-tiba mengajukan Peninjauan Kembali (PK) di detik-detik eksekusi mati. Mereka adalah WN Filipina Mary Jane Fiesta Veloso, WN Ghana Martin Anderson alias Belo dan WN Prancis Serge Areski Atloui. βManuver seperti itu sebenarnya dapat ditangkis apabila koordinasi kejaksaan dengan pengadilan berjalan mulus.
Terlepas dari itu, Prasetyo kembali mengatakan bahwa pelaksanaan eksekusi mati bukanlah hal yang menyenangkan. Namun Prasetyo sebenarnya ingin melangsungkan eksekusi mati lebih cepat sebagai bentuk penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika.
"βBagi kita lebih cepat lebih baik. Tujuan kita itu kan justru untuk menyelamatkan bangsa ini dari bahaya narkotika," tutur Prasetyo.
Hanya saja misteri kapan pelaksanaan eksekusi mati yang belum terkuak menjadikan kabar yang berkembang semakin liar. Seperti pemerintah Australia yang menggunakan cara-cara lain dengan isu penukaran terpidana mati dan menanggung biaya penahanan apabila dua warga negaranya, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, terbebas dari hukuman mati.
Sampai kapan kepastian hukum pelaksanaan hukuman mati kepada terpidana gembong narkoba itu dilakukan? Masih menjadi teka-teki.
Padahal jika dibiarkan berlarut-larut, tak dipungkiri tekanan terhadap pembatalan eksekusi mati akan semakin tinggi. Namun Kejagung juga menolak disebut menunda atau membatalkan pelaksanaan eksekusi mati sebab tanggal pasti belum pernah diucapkan secara resmi dan persiapan sedang dimatangkan.
"Yang menunda siapa? Please, jangan bilang kami menunda karena Kejagung belum pernah memberikan statement resmi kapan eksekusinya. Semua masih dalam proses, butuh persiapan yang matang," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Tony T Spontana, Kamis (12/3) kemarin.
(dha/jor)